Untuk Respon Lebih Cepat Mengenai Pertanyaan Yang Berhubungan Dengan Artikel Di Maktabah Udiatama Silahkan Kirim Pesan Ke udy_hariyanto@yahoo.com

Bakso Cinta Untuk Nurlela

Oleh: Udy Hariyanto


Nur..! Nur..! Buka pintunya, terdengar suara ibunya memanggil sambil mengetuk-ngetuk pintu. Ia masih mengurung diri dikamarnya, sepertinya ia masih belum bisa melupakan kejadian kemaren saat ayahnya berkata “Mau taruh dimana muka ayah, kita keluarga terhormat sedangkan dia hanya tukang bakso”. Peristiwa itu merupakan buntut dari kedatangan Mufid bersama keluarganya, mereka datang dengan maksud untuk meminang Nurlela. Keluarga Mufid memang tidak seberuntung keluarga yang lain, mereka hidup dengan penuh kesederhanaan. Terlebih, setelah ayah Mufid meninggal karena gagal ginjal, taktis tulang punggung keluargapun tidak ada. Sebagai putra sulung Mufid sangat terpanggil untuk menggantikan posisi ayahnya dalam keluarga. Hal inilah yang melatar belakangi ia harus keluar dari pesantren, padahal tidak lama lagi akan segera lulus tetapi karena factor biaya akhirnya iapun memutuskan untuk keluar.
Tanggung jawab sebagai pengganti kepala keluarga pun ia emban dengan penuh suka cita. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga ia jalani dengan menjadi tukang bakso keliling. Memang sangat berat, apalagi ia juga harus membiayai sekolah kedua adiknya, Vivi ia kelas dua SMA dan Zaki yang baru masuk kelas satu SMP. Namun demikian, Mufid tetap yakin bahwa rizki adalah dari Allah, pekerjaannya sebagai tukang bakso hanyalah perantara, ia yakin bahwa Allah tidak akan membebani sesuatu yang diluar kemampuan hambanya dan Allah pasti akan memberi kemudahan bagi hambanya yang dikehendaki.
Bakso yang ia jual memang tidak beda dengan bakso-bakso lainnya, tapi cara ia menjual tidak sama dengan yang lainnya. Menyapa pelanggan dengan senyum khasnya menjadi andalannya. Ternyata cara tersebut sangat ampuh, tidak sampai sore baksonya sudah habis terjual bahkan kadang-kadang ada pelanggan yang sampai tidak kebagian. Disamping itu ia juga tidak pernah meninggalkan delapan rokaat di pagi hari. Ia selalu menyempatkan diri untuk sholat dhuha sebelum ia berangkat kerja, ia berdoa supaya diberikan kemudahan dalam aktivitasnya dan mendapatkan rizki yang halal. Dimalam hari ia juga tidak pernah luput dari bertafakkur kepada Allah dan ia tidak lupa membangunkan adik-adiknya supaya shalat tahajud. Dihadapan Allahlah Mufid teteskan airmata ia adukan segala keluh kesahnya. Suatu yang membuat Mufid menangis pula yaitu setiap ia bangun malam ia selalu mendapati ibunya telah berada dimihrobnya, dalam keheningan malam sayub-sayub ia dengar doa ibu untuk anak-anaknya.
Setelah sekian lama menjadi tulang punggung keluarga ia berfikir bahwa sudah semestinya ada pendamping yang bisa membantunya mengurusi keluarga karena Akhir-akhir ini ibunya sering sakit-sakitan. Setelah niatnya ia sampaikan kepada ibu dan adik-adiknya, akhirnya ia mengingat-ingat memori masa lalu ketika masih dipesantren. Satu nama wanita muncul dipikirannya, ya dia Nurlela satu-satunya teman pesantren putri yang ia kenal akrab. Kemudian ia kirim sms dari HP jadulnya sekedar menanyakan kabar. Ada tanggapan yang baik dari Nur kemudian makin akrablah komunikasi mereka. Beberapa hari kemudian dengan penuh keberanian ia tanyakan kepada Nurlela tentang statusnya dengan kata singkat “ Nenk sudah punya calon belum?”. “Calon apa ka’?” canda Nur. “Calon suamilah masa’ calon haji” begitu Mufid meledek. “ Oh… belum ka’ mang knapa?” sahut Nur. Singkat cerita mufid menyampaikan keinginannya kepada Nur dan setelah Mufid menjelaskan keadaannya serta seluk-beluk keluarganya Nurpun mau menjadi pendampingnya.
Bersiaplah Mufid dan keluarganya menuju rumah Nurlela untuk secara resmi meminangnya. Sesampainya dirumah Nur, seorang perwakilan menyampaikan niat Mufid kepada orang tua Nur, diluar dugaan jawaban yang muncul dari orang tua Nur adalah “Maaf kami adalah keluarga yang terhormat, mungkin anda bisa mencari wanita lainnya saja”. Memang singkat jawaban itu tapi sangat menyakitkan  dihati keluarga Mufid. Mufidpun pulang dengan hati hampa. Esok harinya ada sms dari Nur meminta maaf atas jawaban orang tuanya, namun ia abaikan begitu saja.
Nur kecewa berat atas penolakan orang tuanya terhadap pinangan Mufid. Kini ia mengurung diri dikamar tanpa mau makan dan minum, ibunyapun dibuatnya menjadi resah apalagi penolakan ayahnyapun sungguh tidak logis hanya gara-gara Mufid seorang tukang bakso. Nur menerima Mufid untuk menjadi suaminya bukan tanpa alasan, ia sudah kenal bertahun-tahun ketika dipesantren. Memang, Mufid adalah santri yang tidak terlalu pandai tapi ia adalah santri yang istiqomah dalam belajar dan ibadah. Ia adalah tipe orang yang meskipun ilmu sedikit yang penting diamalkan, sehingga akhlaqnya berbeda dengan santri-santri lainnya. Mufid merupakan santri yang kalem dan tidak banyak bicara, terlebih dalam pergaulan dengan teman-teman putri. Dari segi fisik Mufid juga termasuk pria yang biasa-biasa saja, tapi Nur begitu yakin kalau ia adalah calon suami yang bertanggung jawab yang mampu membimbingnya menelusuri jalan yang lurus yang diridhoi Allah.
Akhirnya Nurpun beristikharah agar ia diberi petunjuk, tapi sayang semakin ia khusuk dalam istikharahnya justru Mufid makin kokoh bersemayam dihatinya. Sampai suatu ketika ia berfikir untuk kabur dari rumah, namun ia ragu, ia masih mengingat jelas apa yang ia peroleh dari pesantren, bahwa membantah ataupun membuat sakit hati orang tua adalah dosa. Akan tetapi disisi lain keegoisan orang tuanya harus digugurkan. Dan  seandainya ia kabur ia pastikan tempat yang akan dituju adalah pesantrennya sekalian minta nasehat dari Pak Kyai. Setelah berfikir panjang Nur akhirnya memutuskan kabur dari rumah melalui jendela.
Beberapa saat setelah Nur baru saja keluar dari rumah terdengarlah suara klakson panjang          “Thinnnnnnnnnn....dubrak..” Nur tertabrak mobil ayahnya saat mau kabur dari rumah. *bersambung

3 comments: