(Oleh : Drs. Masran, M. Ag.)
A. Pengertian Kemukjizatan Alquran ( إعجاز القرآن )
Dalam Bahasa Indonesia, frase Kemukjizatan Alquran merupakan terjemahan dari susunan kata-kata I'jazul-Quran dalam Bahasa Arab. Kata I'jaz dalam susunan ini, secara etimologis berasal dari akar kata 'ajaza yang berarti lemah; kemudian mendapat imbuhan hamzah pada awalnya, menjadi a'jaza yang berarti melemahkan. Dengan demikian, susunan kata-kata I'jaz Alquran merupakan bentuk idhafah mashdar kepada fa'ilnya, yang jika diterjemahkan secara literlek berarti keberadaan Alquran yang dapat melemahkan. Sedangkan obyek yang dilemahkan dalam hal ini adalah manusia. Jadi, secara lughawy, susunan kata ini dapat diartikan sebagai klaim Alquran terhadap kelemahan manusia untuk menandinginya. Pengertian seperti ini sejalan dengan penerjemahan sarjana-sarjana Barat dengan ungkapan The inimmitability of the Quran [Hans Wehr, 1971: 592c].
Sedangkan menurut pengertian istilah (terminologi) yang dipakai di kalangan para ahli 'Ulumul Quran, Kemukjizatan Alquran (I'jazul Quran) ialah penetapan kelemahan manusia, baik secara perorangan maupun kelompok, untuk menghasilkan suatu karya yang sama nilainya dengan Alquran (Ash-Shabuni, 1958: 100). Dalam hal ini, yang dimaksud dengan kelemahan manusia bukanlah berarti, bahwa manusia itu tidak memiliki
potensi samasekali untuk menandingi Alquran; melainkan karena kehebatan dan ketinggian Alquran itu -- baik dari segi keindahan bahasa, maupun dari segi kandungan isinya -- berada jauh di atas kemampuan manusia biasa. Sehingga manusia tidak sanggup untuk menandinginya. Dengan demikian, sangatlah mustahil untuk mengatakan Alquran sebagai karya manusia. Hal ini berarti, bahwa ia (Alquran) betul-betul datang dari Allah (Az-Zarqany, 1988: 331).
Jika statemen yang menyatakan, bahwa Alquran datang dari Allah dapat diterima dengan penuyh kesadaran; maka kenabian Muhammad sebagai pembawa Alquran, secara logika juga mesti diterima. Oleh sebab itu, masalah yang sangat mendasar dalam membahas kemukjizatan Alquran ini ialah bagaimana cara membuktikan keabsahan Alquran sebagai wahyu Allah. Untuk itulah, kajian ini membutuhkan tela'ah yang lebih mendalam terhadap aspek-aspek kemukjizatan Alquran.
B. Macam-macam Mukjizat Nabi Muhammad
Mukjizat yang diberikan Allah kepada para Rasul-Nya bertujuan untuk membuktikan keabsahannya sebagai rasul bagi umat yang dihadapinya. Karena itu, sifat mukjizat yang diberikan Allah kepada para nabi dan rasul-Nya disesuaikan dengan kondisi umat yang mereka hadapi. Nabi Musa a.s., umpamanya, karena beliau menghadapi umat yang sedang menggandrungi ilmu sihir, maka Allah berikan mukjizat yang dapat menaklukkan semua sihir yang ada. Demikian pula halnya dengan Nabi Isa a.s. yang menghadapi umat yang menggandrungi ilmu kedokteran, maka Allah berikan mukjizat berupa kemampuan menyembuhkan berbagai macam penyakit; bahkan dapat menghidupkan orang yang telah mati sekalipun.
Demikian pula halnya dengan Nabi Muhammad. Beliau diangkat menjadi Rasul di tengah-tengah bangsa Arab yang sedang menggandrungi keindahan karya sastra. Karena itu Allah berikan mukjizat berupa Alquran yang memiliki nilai sastra yang sangat tinggi, sehingga tak seorang manusia pun di permukaan bumi ini yang sanggup membuat karangan seindah Alquran. Selain dari itu, keberadaan Nabi Muhammad sebagai rasul yang diutus kepada seluruh umat manusia dan untuk sepanjang zaman, maka sifat mukjizat yang diterimanya pun memungkinkan untuk menjadi bukti bagi masyarakat Arab yang sedang dihadapinya dan umat manusia lainnya yang hidup sampai akhir zaman. Oleh sebab itu, mukjizat yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad terdiri dari dua macam: (1) Mukjizat yang bersifat fisik, indrawi, dan temporal; dan (2) Mukjizat yang bersifat akli, maknawi dan non-indrawi.
1. Mukjizat Indrawi.
Masyarakat Arab yang berhadapan langsung dengan Nabi Muhammad, membutuhkan bukti nyata bahwa ia betul-betul utusan Allah. Untuk pembuktian ini, maka Allah berikan mukjizat yang dapat dilihat langsung oleh orang-orang Arab. Mukjizat-mukjizat tersebut antara lain berupa:
a. Terbelahnya bulan
Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim, juga dalam kitab-kitab hadits lainnya, diriwayatkan bahwa sebelum Rasulullah Saw. hijrah, berkumpullah tokoh-tokoh kafir Quraiy, seperti Abu Jahal, Walid bin Mughirah dan Al 'Ash bin Qail. Mereka meminta kepada nabi Muhammad Saw. untuk membelah bulan. Kata mereka, "Seandainya kamu benar-benar seorang nabi, maka belahlah bulan menjadi dua."
Rasulullah (saw) berkata kepada mereka, "Apakah kalian akan masuk Islam jika aku sanggup melakukannya?"
Mereka menjawab, "Ya." Lalu Rasulullah (saw) berdoa kepada Allah agar bulan terbelah menjadi dua. Rasulullah (saw) memberi isyarat dengan jarinya, maka bulanpun terbelah menjadi dua. Selanjutnya sambil menyebut nama setiap orang kafir yang hadir, Rasulullah (saw) berkata, "Hai Fulan, bersaksilah kamu. Hai Fulan, bersaksilah kamu."
Demikian jauh jarak belahan bulan itu sehingga gunung Hira nampak berada diantara keduanya. Akan tetapi orang-orang kafir yang hadir berkata, "Ini sihir!" padahal semua orang yang hadir menyaksikan pembelahan bulan tersebut dengan seksama. Atas peristiwa ini, maka Allah menurunkan ayat Al Qur'an:
Telah dekat saat itu (datangnya kiamat) dan bulan telah terbelah. Dan jika orang-orang (kafir) menyaksikan suatu tanda (mukjizat), mereka mengingkarinya dan mengatakan bahwa itu adalah sihir. [Q.S. Al Qomar/54: 1-2]
b. Pohon kurma berbuah seketika
Dari Jabir, ia berkata:
Sewaktu Bapakku meninggal, ia masih mempunyai utang yang banyak. Kemudian, aku mendatangi Rasulullah saw untuk melaporkan kepada Beliau mengenai utang bapakku. Aku berkata kepada Rasulullah: Ya Rasulullah, bapakku telah meninggalkan banyak hutang. Aku sendiri sudah tidak mempunyai apa-apa lagi kecuali yang keluar dari pohon kurma. Akan tetapi pohon kurma itu sudah dua tahun tidak berbuah. Hal ini sengaja aku sampaikan kepada Rasulullah agar orang yang memiliki piutang tersebut tidak berbuat buruk kepadaku. Kemudian Rasulullah mengajakku pergi ke kebun kurma. Sesampainya disana beliau mengitari pohon kurmaku yang dilanjutkan dengan berdo'a. Setelah itu beliau duduk seraya berkata kepadaku, "Ambillah buahnya." Mendengar perintah Rasulullah saw tersebut, aku langsung memanjat pohon kurma untuk memetik buahnya yang tiba-tiba berbuah. Buah kurma itu kupetik sampai cukup jumlahnya untuk menutupi utang bapakku, bahkan sampai lebih. (Sahih Bukhari Juz 4; Hadits no. 780)
c. Air memancar dari sela-sela jari Nabi
Diriwayatkan oleh 'Abdullah:
"Dalam pandangan kami mukjizat adalah anugerah Allah, tetapi dalam pandangan kalian mukjizat adalah peringatan. Suatu ketika kami menyertai Rasulullah saw dalam sebuah perjalanan dan kami nyaris kehabisan air. Nabi saw bersabda: "Bawalah kemari air yang tersisa!" orang-orang membawa kantung yang berisi sedikit air. Nabi saw memasukkan telapak tangannya kedalam kantung itu dan berkata, "Mendekatlah pada air yang diberkahi dan ini berkah dari Allah." Aku melihat air memancar dari sela-sela jemari tangan Rasulullah saw." (Sahih Bukhari, juz 5 no. 779).
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Anas, ia berkata:
"Semangkuk air dibawa kehadapan Nabi saw di Al Zawra. Nabi saw memasukkan kedua telapak tangannya kedalam mangkok itu dan air memancar dari jari-jemarinya. Semua orang berwudhu dengan air itu. Qatadah berkata kepada Anas, "Berapa orang yang hadir pada waktu itu?" Anas menjawab, "Tiga ratus orang atau mendekati tiga ratus orang."
(Sahih Bukhari, juz 4 no. 772); Lihat juga : Sahih Bukhari juz 4 no 777; dan Sahih Bukhari juz 1 no 340)
d. Hujan Lebat dan Banjir
Diriwayatkan oleh Anas:
Pernah lama Madinah tidak turun hujan, sehingga terjadilah kekeringan yang bersangatan. Pada suatu hari Jum'at ketika Rasulullah saw sedang berkotbah Jum'at, lalu berdirilah seorang Badui dan berkata: "Ya Rasulullah, telah rusak harta benda dan lapar segenap keluarga, doakanlah kepada Allah agar diturunkan hujan atas kita. Berkata Anas : Mendengar permintaan badui tersebut, Rasulullah mengangkat kedua tangannya kelangit (berdo'a). Sedang langit ketika itu bersih, tidak ada awan sedikitpun. Tiba-tiba berdatanganlah awan tebal sebesar-besar gunung. Sebelum Rasulullah saw turun dari mimbarnya, hujan turun dengan selebat-lebatnya, sehingga Rasulullah saw sendiri kehujanan, air mengalir melalui jenggot Beliau. Hujan tidak berhenti sampai Jum'at yang berikutnya, sehingga kota Madinah mengalami banjir besar, rumah-rumah sama terbenam. Maka datang Orang Badui berkata kepada Rasulullah saw: Ya Rasulullah, sudah tenggelam rumah-rumah, karam segala harta benda. Berdo'alah kepada Allah agar hujan diberhentikan diatas kota Madinah ini, agar hujan dialihkan ketempat yang lain yang masih kering. Rasulullah saw kemudian menengadahkan kedua tangannya ke langit berdo'a: Allahuma Hawaaliinaa Wa laa Alainaa (Artinya: Ya Allah turunkanlah hujan ditempat-tempat yang ada disekitar kami, jangan atas kami). Berkata Anas: Diwaktu berdo'a itu Rasulullah saw menunjuk dengan telunjuk beliau kepada awan-awan yang dilangit itu, seakan-akan Beliau mengisyaratkan daerah-daerah mana yang harus didatangi. Baru saja Rasulullah menunjuk begitu berhentilah hujan diatas kota Madinah.
(Sahih Bukhari, juz 8 no 115).
e. Rasulullah menyembuhkan Ali dari sakit mata
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Kitab shahihnya, bahwa Rasulullah saw bersabda pada saat peristiwa penaklukkan Khaibar :
"Esok hari aku (Nabi saw) akan memberikan bendera kepada seorang yang akan diberikan kemenangan oleh Allah swt melalui tangannya, sedang ia mencintai Allah dan Rasulnya, dan Allah dan Rasulnya mencintainya".
Maka semua orangpun menghabiskan malam mereka seraya bertanya-tanya didalam hati, kepada siapa diantara mereka akan diberi bendera itu. Hingga memasuki pagi harinya masing-masing mereka masih mengharapkannya. Kemudian Rasulullah saw bertanya: "Kemana Ali?" lalu ada yang mengatakan kepada beliau bahwa Ali sedang sakit kedua matanya. Lantas Rasulullah saw meniup kedua mata Ali seraya berdoa untuk kesembuhannya. Sehingga sembuhlah kedua mata Ali seakan-akan tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Lalu Rasulullah saw memberikan bendera itu kepadanya. (Sahih Bukhari).
f. Mimbar menangis
Diriwayatkan oleh Ibn Umar:
Rasulullah saw naik keatas mimbar dan berkotbah. Sedang Rasulullah saw berkotbah, Rasulullah saw mendengar mimbar itu menangis seperti tangisan anak kecil, sehingga seakan-akan mimbar itu mau pecah. Lalu Rasulullah saw turun dari mimbar dan merangkul mimbar itu sehingga tangisnya berkurang sampai mimbar itu diam sama sekali. Rasulullah saw berkata: "Mimbar itu menangis mendengar ayat-ayat Allah dibacakan diatasnya." (Sahih Bukhari juz 4 no. 783).
g. Mayat seorang murtad tidak diterima oleh Bumi
Diriwayatkan oleh Anas bin Malik r.a, ia berkata: Di antara kami ada seorang lelaki dari Bani Najjar, dia telah membaca surah al-Baqarah dan surah Ali Imran serta selalu menulis untuk Rasulullah s.a.w, lalu dia melarikan diri untuk bersama-sama Ahli Kitab. Anas berkata: Ahli Kitab menyanjungnya. Mereka berkata: Lelaki ini telah menulis untuk Muhammad menyebabkan mereka mengkaguminya. Setelah beberapa ketika bersama-sama Ahli Kitab, lelaki tersebut meninggal dunia. Ahli Kitab menggali kubur dan mengkebumikannya. Bumi memuntahkannya ke permukaan. Mereka menggali lagi dan mengkebumikannya semula. Namun bumi tetap memuntahkan lelaki tersebut ke permukaan. Mereka menggali dan mengkebumikannya lagi. Bumi tetap memuntahkannya semula ke permukaan. Akhirnya mereka membiarkannya di permukaan bumi (Sahih Bukhari juz 4 no 814).
h. Berhala-berhala runtuh dengan hanya ditunjuk oleh Rasulullah saw
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas'ud r.a, ia berkata: Ketika Nabi s.a.w memasuki Mekah terdapat sebanyak tiga ratus enam puluh buah berhala di persekitaran Kaabah. Lalu Nabi s.a.w meruntuhkannya dengan menggunakan tongkat yang berada di tangannya seraya bersabda: Bermaksud: Telah datang kebenaran dan musnahlah kebatilan karena sesungguhnya kebatilan itu, adalah sesuatu yang pasti musnah. Bermaksud: Kebenaran telah datang dan yang batil itu tidak akan bermula dan tidak akan berulang. Ibnu Abu Umar menambah: Peristiwa itu terjadi pada masa pembukaan Kota Mekah. (Sahih Bukhari, kitab Jihad).
i. Makanan sedikit dimakan banyak orang:
Dari Jabir bin Abdullah r.a, ia berkata: Semasa parit Khandak digali, aku melihat keadaan Rasulullah s.a.w dalam keadaan sangat lapar. Maka akupun segera kembali ke rumahku dan bertanya kepada isteriku, apakah engkau mempunyai sesuatu (makanan)? Kerana aku melihat Rasulullah s.a.w tersangat lapar. Isteriku mengeluarkan sebuah beg yang berisi satu cupak gandum, dan kami mempunyai seekor anak kambing dan beberapa ekor ayam. Aku lalu menyembelihnya, manakala isteriku menumbuk gandum. Kami sama-sama selesai, kemudian aku memotong-motong anak kambing itu dan memasukkannya ke dalam kuali. Apabila aku hendak pergi memberitahu Rasulullah s.a.w, isteriku berpesan: Jangan engkau memalukanku kepada Rasulullah s.a.w dan orang-orang yang bersamanya. Aku kemudiannya menghampiri Rasulullah s.a.w dan berbisik kepada Baginda: Wahai Rasulullah! Kami telah menyembelih anak kambing kami dan isteriku pula menumbuk satu cupak gandum yang ada pada kami. Karena itu, kami menjemput baginda dan beberapa orang bersamamu. Tiba-tiba Rasulullah s.a.w berseru: Wahai ahli Khandak! Jabir telah membuat makanan untuk kamu. Maka kamu semua dipersilakan ke rumahnya. Rasulullah s.a.w kemudian bersabda kepadaku: Jangan engkau turunkan kualimu dan jangan engkau buat roti adonanmu sebelum aku datang. Aku pun datang bersama Rasulullah s.a.w mendahului orang lain. Aku menemui isteriku. Dia mendapatiku lalu berkata: Ini semua adalah karena kamu, aku berkata bahawa aku telah lakukan semua pesananmu itu. Isteriku mengeluarkan adonan roti tersebut, Rasulullah s.a.w meludahinya dan mendoakan keberkatannya. Kemudian Baginda menuju ke kuali kami lalu meludahinya dan mendoakan keberkatannya. Setelah itu Baginda bersabda: Sekarang panggillah pembuat roti untuk membantumu dan cedoklah dari kualimu, tapi jangan engkau turunkannya. Ternyata kaum muslimin yang datang adalah sebanyak seribu orang. Aku bersumpah demi Allah, mereka semua dapat memakannya sehingga kenyang dan pulang semuanya. Sementara itu kuali kami masih mendidih seperti sediakala. Demikian juga dengan adonan roti masih tetap seperti asalnya. Sebagaimana kata Ad-Dahhak: Masih tetap seperti asalnya. (Sahih Bukhari, Muslim, kitab Minuman).
j. Sepotong hati kambing cukup untuk 130 orang.
Dari Abd. Rahman bin Abu Bakar r.a., ia berkata: Kami dengan sejumlah seratus tiga puluh orang sedang bersama Nabi s.a.w. Nabi s.a.w bertanya: Adakah salah seorang di antara kamu mempunyai makanan? Didapati ada seorang yang mempunyai kira-kira satu gantang gandum atau seumpamanya, lalu diadunkannya. Kemudian datang seorang lelaki tinggi dan kusut rambutnya membawa kambing-kambing untuk dijual. Nabi s.a.w bertanya: Adakah ianya untuk dijual atau dihadiahkan? Lelaki itu menjawab: Tidak! Bahkan ianya untuk dijual! Maka dibeli daripadanya seekor kambing. Setelah disembelih, Rasulullah s.a.w memerintahkan supaya diambil hatinya untuk dipanggang. Dia (Abdul Rahman bin Abu Bakar) berkata: Demi Allah! Setiap seratus tiga puluh orang itu, kesemuanya mendapat sepotong hati kambing daripada Rasulullah s.a.w. Jika orang itu ada bersama, maka Rasulullah s.a.w memberikannya. Jika sebaliknya, Rasulullah s.a.w menyimpan untuknya. Makanan itu dibagikan kepada dua talam. Kami makan dari kedua talam itu sehingga kenyang. Lebihan yang terdapat pada kedua talam tersebut dibawa ke atas unta atau mungkin juga riwayatnya begitu.
(Sahih Bukhari, Muslim, kitab Minuman).
k. Susu dan kencing unta menyembuhkan penyakit.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a, ia berkata: Sesungguhnya beberapa orang dari daerah Urainah datang ke Madinah untuk menemui Rasulullah s.a.w mereka telah mengidap sakit perut yang agak serius. Lalu Rasulullah s.a.w bersabda kepada mereka: Sekiranya kamu mau, keluarlah dan carilah unta sedekah, maka kamu minumlah susu dan air kencingnya. Lalu mereka meminumnya, dan ternyata mereka menjadi sehat. Kemudian mereka pergi kepada sekumpulan pengembala lalu mereka membunuh pengembala yang tidak berdosa itu dan mereka telah menjadi murtad (keluar dari Islam.) Mereka juga telah melarikan unta milik Rasulullah s.a.w, kemudian peristiwa itu diceritakan kepada Rasulullah s.a.w. Lalu baginda memerintahkan kepada para Sahabat agar menangkap mereka. Setelah ditangkap lalu mereka dihadapkan kepada baginda s.a.w. Maka Rasulullah s.a.w pun memotong tangan dan kaki serta mencungkil mata mereka. Kemudian baginda membiarkan mereka berada di al-Harrah (sebuah daerah di Madinah yang terkenal penuh dengan batu hitam) sehingga mereka meninggal dunia.
(Sahih Bukhari, Muslim, kitab qishas dan diyat).
l. Roti sedikit cukup untuk orang banyak.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a, ia berkata: Abu Talhah telah berkata kepada Ummu Sulaim: Aku mendengar suara Rasulullah s.a.w begitu lemah. Tahulah aku baginda dalam keadaan lapar. Apakah engkau mempunyai sesuatu? Ummu Sulaim menjawab: Ya! Kemudiannya dia menghasilkan beberapa buku roti dari gandum dan setelah itu, mengambil kain tudungnya dan membungkus roti itu dengan separuh kain tudung, lalu disisipkan di bawah bajuku, sedangkan yang separuh lagi diselendangkan kepadaku. Selepas itu pula dia menyuruhku pergi ke tempat Rasulullah s.a.w. Akupun berangkat membawa roti yang dibungkus kain tudung itu. Aku mendapatkan Rasulullah s.a.w yang sedang duduk di dalam masjid bersama orang-ramai dan berada di sisi mereka. Rasulullah s.a.w bertanya: Abu Talhah yang mengutusmu? Aku menjawab: Ya, benar! Rasulullah s.a.w bertanya lagi: Untuk makanan? Aku menjawab: Ya! Rasulullah s.a.w bersabda kepada orang-ramai yang bersama baginda: Bangunlah kamu sekalian! Rasulullah s.a.w lalu berangkat diiringi para sahabat dan aku berjalan di antara mereka untuk segera memberitahu Abu Talhah. Maka Abu Talhah berkata: Wahai Ummu Sulaim! Rasulullah s.a.w telah datang bersama orang yang ramai, padahal kita tidak mempunyai makanan yang mencukupi untuk mereka. Dia menjawab: Allah dan RasulNya lebih tahu. Lalu Abu Talhah menjemput Rasulullah s.a.w dan Rasulullah s.a.w pun masuk bersamanya. Rasulullah s.a.w bersabda: Bawakan ke sini apa yang ada di sisimu wahai Ummu Sulaim! Ummu Sulaim terus membawa roti tersebut kepada baginda kemudian memerah bekas lemaknya untuk dijadikan lauk dimakan dengan roti. Kemudian Rasulullah s.a.w mendoakan makanan itu. Setelah itu baginda bersabda: Izinkan sepuluh orang masuk! Abu Talhah memanggil sepuluh orang Sahabat. Mereka makan sehingga kenyang kemudian keluar. Rasulullah s.a.w menyambung: Biarkan sepuluh orang lagi masuk. Sepuluh orang berikutnya pun masuk dan makan sehingga kenyang lalu keluar. Rasulullah s.a.w kemudian bersabda lagi: Suruhlah sepuluh orang lagi masuk. Demikian berlaku terus-menerus sehingga semua orang dapat makan hingga kenyang, padahal jumlah mereka adalah lebih kurang tujuh puluh atau delapan puluh orang.
(Sahih Bukhari, Muslim, kitab Minuman).
m. Doa untuk Anas bin Malik.
Diriwayatkan dari Anas r.a., darip Ummu Sulaim, ia berkata: Wahai Rasulullah! Aku menjadikan Anas sebagai khadammu, tolonglah berdoa untuknya. Rasulullah s.a.w pun berdoa: Ya Allah, banyakkanlah harta dan anaknya dan berkatilah apa yang diberikan kepadanya. Berkata Anas: "Demi Allah, harta bendaku memang banyak dan anak begitu juga anak dari anakku memang banyak sekali dan sekarang sudah berjumlah lebih dari 100 orang.
(Sahih Bukhari, Muslim, kitab kelebihan para sahabat).
n. Makanan yang dimakan tidak berkurang justru bertambah tiga kali lipat
Diriwayatkan dari Abdul Rahman bin Abu Bakar r.a., ia berkata: Mereka yang disebut Ashaab As-Suffah adalah orang-orang miskin. Rasulullah s.a.w pernah bersabda suatu ketika: Siapa mempunyai makanan untuk dua orang, dia hendaklah mengajak orang yang ketiga dan sesiapa mempunyai makanan untuk empat orang, dia hendaklah mengajak orang kelima, keenam atau seperti diriwayatkan dalam Hadis lain. Abu Bakar r.a datang dengan tiga orang. Nabi pula pergi dengan sepuluh orang dan Abu Bakar dengan tiga orang yaitu aku, ibu dan bapaku. Tetapi aku tidak pasti adakah dia berkata: Isteriku dan khadamku berada di antara rumah kami dan rumah Abu Bakar. Abdul Rahman berkata lagi: Abu Bakar makan malam bersama Nabi s.a.w dan terus berada di sana sehinggalah waktu Isyak. Selesai sembahyang, dia kembali ke tempat Nabi s.a.w lagi, sehinggalah Rasulullah s.a.w kelihatan mengantuk. Sesudah lewat malam, barulah dia pulang. Isterinya menyusulinya dengan pertanyaan: Apa yang menghalang dirimu untuk pulang menemui tetamumu? Abu Bakar berkata: Bukankah engkau telah menjamu mereka makan malam? Isterinya menjawab: Mereka tidak mau makan sebelum engkau pulang, padahal anak-anak sudah mempersilakan tetapi mereka tetap enggan. Akupun berundur untuk bersembunyi. Lalu terdengar Abu Bakar memanggil: Hai dungu! Diikuti dengan sumpah-serapah. Kemudian dia berkata kepada para tetamunya: Silakan makan! Barangkali makanan ini sudah tidak enak lagi. Kemudian dia bersumpah: Demi Allah, aku tidak akan makan makanan ini selamanya! Abdul Rahman meneruskan ceritanya: Demi Allah, kami tidak mengambil satupun kecuali sisanya bertambah lebih banyak lagi, sehinggalah apabila kami sudah merasa kenyang, makanan itu menjadi bertambah banyak daripada yang sedia ada. Abu Bakar memandangnya ternyata makanan itu tetap seperti sedia atau bahkan lebih banyak lagi. Dia berkata kepada isterinya: Wahai saudara perempuanku! Bani Firas apakah ini? Isterinya menjawab: Tidak! Demi cahaya mataku, sekarang ini makanan tersebut bertambah tiga kali ganda lebih banyak daripada sediakala. Lalu Abu Bakar makan dan berkata: Sumpahku tadi adalah dari syaitan. Dia makan satu suap, kemudian membawa makanan tersebut kepada Rasulullah s.a.w dan membiarkannya di sana hingga pagi hari. Pada waktu itu di antara kami (kaum muslimin) dengan suatu kaum akan dilangsungkan satu perjanjian. Apabila tiba waktunya, kamipun menjadikan dua belas orang sebagai ketua saksi, masing-masing mengepalai beberapa orang. Hanya Allah yang tahu berapa orangkah sebenarnya yang diutuskan bersama mereka. Cuma yang pastinya Rasulullah s.a.w memerintah agar dipanggilkan mereka kesemuanya. Lalu kesemuanya makan dari makanan yang dibawa oleh Abu Bakar atau sebagaimana yang diriwayatkan dalam riwayat yang lain.
(Sahih Bukhari, Muslim, Kitab Minuman).
o. Ingatan Abu Hurairah
Abu Hurairah mengeluh kepada Rasulullah saw bahwa dia terlalu pelupa. Lalu Rasulullah saw membentangkan kainnya diatas tanah, lalu memegang-megang kainnya dengan tangan beliau. Abu Hurairah disuruh Rasulullah memeluk kain itu. Sejak itu Abu hurairah tidak pernah lupa-lupa lagi. Dan beliau terkenal paling banyak menghafal hadis. (Sahih Bukhari muslim).
C. Aspek-aspek Kemukjizatan Alquran
Dalam sejarah kemunculan dan berkembangnya pembiranaan tentang Kemukjizatan Alquran , terlihat bahwa para ahli berbeda pendapat dalam melihat aspek-aspek kemukjizatan Alquran yang dipandang penting. Namun dari berbagai perbedaan itu , secara global tidak terlepas dari tiga aspek yang meliputi: (1) as-Sharfah, (2) Keindahan bahasa, dan (3) Kandungan isinya. Untuk lebih jelasnya, ketiga aspek ini dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Aspek Ash-Sharfah
Dari kalangan mutakallimin, Abu Ishak Ibrahim An-Nazzam, berpendapat, bahwa kemukjizatan Alquran terjadi dengan cara Ash-Sharfah (pemalingan). Arti Ash-Sharfah menurut An-Nazzam ialah, bahwa Allah memalingkan perhatian orang-orang Arab dari menandingi Al;-Quran. Padahal, mereka sebenarnya mampu untuk menandinginya. Di sinilah letak kemukjizatan Al-Qurean menurut An-Nazzam.
Tokoh lain dari pendukung konsep Ash-Sharfah ialah Al-Murtadha (dari aliran Syi'ah). Hanya saja Al-Murtadha mengartikan Ash-Sharfah berbeda dengan pengertian yang dibuat An-Nazzam. Menurut Al-Murtadha, Ash-Sharfah berati pencabutan. Dalam hal ini, Allah mencabut ilmu-ilmu yang dibutuhkan untuk menandingi Alquran dari orang-orang Arab pada masa itu. Sehingga mereka tidak mampu membuat karya yang menandingi Alquran (Manna' Khalil Al-Qaththan, 1992: 372 - 373).
Selain dari An-Nazzam (dari aliran Mu'tazilah) dan Al-Murtadha (dari airan Syi'ah), Abu Ishak Al-Isfarayaini (dari aliran Asy'ariah) juga termasuk salah seorang pendukung konsep Al-I'jaz Bish-Sharfah ini. Hanya saja nama An-Nazzam jauh lebih populer daripada yang lainnya dalam hal ini. Namun, sangat disayangkan, bahwa hingga saat ini kita belum menemukan data-data authentik tentang pemikiran An-Nazzam.
Di samping para pendukung, pengecamnya pun tak kalah hebatnya terhadap konsep Ash-Sharfah ini. Baik dari kalangan Mu'tazilah, maupun Asya'irah. Abu Bakar Al-Baqillani, umpamanya, merupakan salah seorang tokoh Asya'irah yang menolak konsep ini. Alasan yang dikemukakan beliau dalam hal ini ialah, "seandainya benar bahwa orang-orang Arab pada masa Nabi dipalingkan Allah perhatiannya dari menandingi Alquran, tentunya orang-orang Arab Pra-Islam yang hidup pada masa jahiliah memiliki karya-karya yang dapat menyaingi kehebatan Alquran. Karena mereka tidak ditantang untuk menandingi Alquran dan tidak pula dihalangi kemauan dan kemampuannya. Dengan demikian, jika kita tidak menemukan karya-karya pujangga Arab Pra-Islam yang serupa dengan Alquran, maka konsep Ash-Sharfah mesti batal (absurd) (Al-Baqillani, I'jaz Alquran, tt.: 30).
Alasan lain yang dikemukakan Al-Baqillani tentang absurditas konsep Ash-Sharfah ini ialah, seandainya pertandingan melawan Alquran itu memungkinkan – tidak mungkin, karena adanya Ash-Sharfah – maka kemukjizatannya tidak inheren pada Alquran itu sendiri, melainkan halangan itulah yang menjadi mukjizat, sedangkan Alquran tidak memilki keistimewaan ... tidak ada perbedaan antara Kalamullah dengan Kalamul Basyar (Ibid.: 30 - 31).
Selain Al-Baqillani, sebenarnya masih banyak lagi tokoh-tokoh Ilmu Kalam yang juga menentang konsep Ash-Sharfah ini. Baik dari kalangan Mu'tazilah sendiri, maupun dari kalangan Asya'irah. Seperti Al-Qadhi Abdul Jabbar (tokoh Mu'tazilah) termasuk kelompok penentang konsep ini.
Dari penjelasan ini terlihat, bahwa sungguhpun lahirnya konsep Ash-Sharfah hampir selalu dinisbahkan kepada nama An-Nazzam, tokoh Mu'tazilah, namun dalam kenyataannya tidak semua pengikut Mu'tazilah mengakui Ash-Sharfah sebagai salah satu aspek kemukjizatan Alquran. Dalam hal ini, kelihatannya konsep Ash-Sharfah bukan monopoli sesuatu aliran pemikiran tertentu, melainkan banyak tergantung pada kecendrungan tokoh-tokohnya sebagai individu. Sehingga, tidaklah beralasan untuk mengatakan Ash-Sharfah sebagai pandangan Mu'tazilah.
2. Keindahan Bahasa (Fashahah dan Balaghah)
Aspek kedua dari kemukjizatan Alquran yang menjadi pokok bahasan para ulama Kalam ialah dari segi keindahan bahasanya. Dalam hal ini, Bahasa Arab yang digunakan Alquran dipandang sebagai bahasa yang istimewa, baik dari segi gaya bahasanya, susunan kata-katanya, maupun ketelitian redaksi yang digunakannya. Walaupun di kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat mengenai segi-segi keindahan bahasa Alquran, namun pada umumnya mereka sepakat, mengakui keindahan bahasa Alquran. Keindahannya, jauh melebihi keindahan bahasa yang disusun oleh para sastrawan Arab. Bahkan, kekaguman terhadap keindahan bahasa Alquran ini bukan saja berasal dari kalangan orang-orang yang beriman saja, melainkan orang-orang kafir Qureisy pun pada saat turunnya Alquran mengakui hal ini. Hanya saja mereka tidak mau mengakuinya sebagai wahyu dari Allah. Mengenai keluar-biasaan keindahan bahasa Alquran mereka sangat terkesima, sehingga menuduh, bahwa hal itu dibuat oleh Muhammad dengan menggunakan sihir yang dipelajarinya dari orang-orang Yahudi. Sebagaimana terlihat dari firman Allah, ketika mensitir perkataan orang yang membangkang dari kebenaran, "Lalu dia berkata: (Alquran) ini tak lain hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang Yahudi)" (Al-Muddatstsir/74: 24).
Kemukjizatan Alquran dari aspek keindahan bahasanya dalam kajian para mutakallimin tidak sekedar menyangkut essensinya yang juga menajdi obyek kajian ahli balaghah, tapi, lebih dari itu, kajian ahli Kalam juga menyangkut eksistensi fashahah dan balaghah tersebut dalam I'jazul Quran. Dalam kajian ini, para mutakallimin tentunya tidak hanya menggunakan pendekatan "subyektif", yang mengandalkan ketajaman intuisi dan perasaan, melainkan juga dengan pendekatan kognitif yang menjadi ciri khas ke-mutakallim-annya. Bahkan menurut Dr. Munir Sulthan, para mutakallimin masa awal sebenarnya memiliki andil yang sangat besar dalam bidang kesusastraan Arab, suatu peran yang tak dapat dilakukan oleh kalangan sastrawan sendiri. Karena sumbangsih mereka dalam hal ini disertai dengan analisa logis dan filosofis. Hanya saja, setelah Az-Zamakhsyari peran ini menjadi hilang, karena mereka meninggalkan model-model pendekatannya yang semula. Yaitu, di samping pendekatan logika dan filsafat, mereka juga menghiasi ilmunya dengan filsafat dan sastra [Munir Sulthan, 1986: 256].
Pada bagian lain dari hasil penelitiannya, Munir Sulthan juga menyebutkan nama-nama mutakallimin yang mengkaji secara mendalam aspek kebahasaan I'jazul-Quran. Dari kalangan Mu'tazilah, nama-nama tersebut ialah: Al-Jahizh, Ar-Rummani dan Az-Zamakhsyari. Sedangkan dari aliran Asya'irah disebutkan antara lain: Abu Bakar Al-Baqillani dan Abdul Qahir Al-Jurjani [Ibid.: 255].
Sedangkan dari kalangan sastrawan, walaupun namanya tidak dikenal di kalangan mutakallimin, ialah Abu Sulaiman Hamd bin Muhammad bin Ibrahim Al-Khaththaby (319-388 H). Beliau menulis sebuah buku yang berjudul, Kitab Bayan I'jaz Alquran [Muhammad Khalfullah Ahmad dan Muhammad Zaghlul Salam, tt.: 123].
Sedangkan Ahli Kalam lainnya, seperti Al-Qadhi Abdul Jabbar, walaupun tidak membahas aspek kebahasaan ini secara luas, namun beliau tetap mengakui keindahan bahasa Alquran sebagai aspek kemukjizatannya. Dalam hal ini, Abdul Jabbar lebih menekankan pada analisa logika (manthiqiyyah) tentang keberadaan aspek Fashahah dalam kajian I'jazul Quran. Yakni, bagaimana jalan pikiran kita bisa menerima kenabian Muhammad melalui analisa situasional dalam kaitannya dengan keindahan bahasa Alquran. Seperti masalah ada atau tidaknya perlawanan dari para pujangga Arab untuk menandingi Alquran; bagaimana semestinya tingkat kemampuan bahasa mereka, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan masalah tantangan dan perlawanan (At-Tahaddi Wa Al-Mu'aradhah) [Al-Qadhi Abdul Jabbar Al-Hamadzani, 1960: 236 - 316]. Walaupun hal ini sebenarnya lebih relevan dengan masalah Ash-Sharfah.
3. Ketelitian Redaksinya
Ketelitian redaksi bergantung pada hal berikut :
1) Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dan antonimnya, beberapa contoh diantaranya:
a. Al-Hayah (hidup) dan Al-Maut (mati), masing-masing serbanyak 145 kali
b. An-Naf (manfaat) dan Al-Madharah (mudarat), masing-masing sebanyak 50 kali
c. Al-Har (panas) dan Al-Bard (dingin) sebanyak 4 kali
d. As-Shalihat (kebajikan) danAs-Syyiat (keburukan) sebanyak masing-masing 167 kali
e. Ath-thuma’ninah (kelapangan/ketenangan) dan Adh-dhiq (kesempitan/kekesalan) sebanyak masing-msing 13 kali
2) Keseimbangan jumlah bilangan kata dengan sinonimnya atau makna yang dikandungnya
a. Al-harts dan Az-zira’ah (membajak/bertani) masing-masing 14 kali
b. Al-‘ushb dan Adh-dhurur (membanggakan diri/angkuh) masing-masing 27 kali
c. Adh-dhaulun dan Al-mawta (orang sesat/mati jiwanya) masing-masing 17 kali
3) Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan jumlah kata yang menunjukan akibatnya
a. Al-infaq (infaq) dengan Ar-ridha (kerelaan) masing-masing 73 kali
b. Al-bukhl (kekikiran) dengan Al-hasarah (penyesalan) masing-masing 12 kali
c. Al-kafirun(orang- orang kafir) dengan An-nar/Al-ihraq (neraka/pembakaran) masing-masing 154 kali
4) Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan kata penyebabnya
a. Al-israf (pemborosan dengan As-sur’ah (ketergesaan) masing-masing 23 kali
b. Al-maw’izhah (nasihat/petuah) dengan Al-lisan (lidah) masing-masing 25 kali
c. Al-asra (tawanan) dengan Al-harb (perang) masing-masing 6 kali
5) Di samping keseimbangan-keseimbangan tersebut, di temukan juga keseimbangan khusus
a. Kata yawm (hari) dalam bentuk tunggal sejumlah 365 kali, sebanyak hari-hari dalam setahun, sedangkan kata hari dalam bentuk plural (ayyam) atau dua (yawmayni), berjumlah tiga puluh, sama dengan jumlah hari dalam sebulan. Disisi lain, kata yang berarti bulan (syahr) hanya terdapat dua belas kali sama dengan jumlah bulan dalam setahun.
b. Al-Qur’an menjelaskan bahwa langit itu ada tujuh. Penjelasan ini diulangi sebanyak tujuh kali pula, yakni dalam surat Al-Baqarah ayat 29, surat Al-Isra ayat 44, surat Al-Mu’minun ayat 86, surat Fushilat ayat 12, surat Ath-thalaq 12, surat Al- Mulk ayat 3, surat Nuh ayat 15, selain itu, penjelasan tentang terciptanta langit dan bumi dalam enam hari dinyatakan pula dalam tujuh ayat.
c. Kata-kata yang menunjukkan kepada utusan Tuhan, baik rasul atau nabi atau basyir (pembawa berita gembira) atau (nadzir pemberi peringatan), kesemuanya berjumlah 518 kali. Jumlah ini seimbang dengan jumlah penyebutan nama-nama nabi, rasul dan pembawa berita tersebut yakni 518.
4. Kandungan Isinya
Pembahasan menmgenai aspek kemukjizatan Alquran dari segi kandungan isinya, sungguh akan menyita banyak halaman (tempat) dalam makalah ini. Untuk itulah, maka pembahasan dari aspek ini akan dipaparkan secara global.
Isi dan kandungan Alquran banyak memberikan informasi mengenai hal-hal yang tak mungkin dikuasai (diketahui) oleh ilmuwan manapun yang hidup pada abad VI M (empat belas abad yang lalu). Bahkan, hingga saat sekarang pun banyak di antara informasi-informasi itu yang hanya bisa diperoleh dari Alquran. Informasi-informasi (berita-berita) seperti inilah yang merupakan salah satu aspek kemukjizatan Alquran.
Di antara isi dan kandungan Alquran yang menunjukkan kemukjizatannya, secara garis besar dapat diklassifikasikan kepada tiga jenis sebagai berikut:
a. Berita tentang Hal-hal yang Ghaib
Beritan-berita ghaib yang terdapat dalam Alquran dapat dikelompokkan kepada:
1) Berita-berita ghaib yang terjadi sebelumnya; yaitu berita-berita tentang orang-orang terdahulu. Seperti berita tentang Nabi Musa a.s. (Alquran, 28: 44 -46); berita tentang Maryam, ketika melahirkan Isa a.s. (Q. S. 19: 15- 34 dan 4: 44); pertualangan Nabi Ibrahimdalammencarti Tuhan (Q. S. 6: 74 - 81). Kesemua berita ini disampaikan kepada Nabi Muhammad untuk memperteguh hatinya dan sebagai peringatan bagi orang-orang Mukmin (Q. S. 11:120). Sebelum mendapat wahyu ini, Nabi Muhammad sendiri tidak tahu tentang berita-berita tersebut (Q.S. 11: 49).
2) Berita-berita ghaib yang sedang terjadi di tempat lain. Seperti mengenai maksud jahat orang-orang munafik dengan membangun masjid Dhirar (Q. S. 9: 107); aatau berita ghaib yang terjadi di tempat yang sama. Seperti sikap orang-oraorang munafik yang bermanis muka di hadapan Nabi, padahal hatinya buruk dan sangat memusuhi Nabi (Q. S. 2: 204 - 206).
3) Berita-berita ghaib yang akan terjadi (sesudah turunnya wahyu). Seperti kemenangan yang akan diperoleh tentara Romawi dalam menghadapin bangsa Persia (Q. S. 30: 1 - 6); Nabi dan para sahabatnya akan memasuki kota Mekkah dalam keadaan aman (Q. S. 48: 27); Allah akan mengabadikan jenazah Fir'aun sebagai bukti historis (Q. S. 10: 92); Kemurnian Alquran tetap akan terpelihara (Q.S. 15: 9); dan berbagai masalah ghaib lainnya yang ditunjukkan oleh Alquran, baik secara eksplisit maupun implisit.
b. Isyarat-isyarat Ilmiah
Isi dan kandungan Alquran banyak menginformasi-kan masalah-masalah ilmiah yang hanya mungkin diketa-hui oleh ilmuwan abad modern ini. Sungguhpun dalam hal ini Alquran tidak mengupas secara tuntas masalah-masalah keilmuan modern -- karena hal ini bukan tujuan utama diturunkannya Alquran -- namun, paling tidak Alquran telah memberikan isyarat-isyarat yang mungkin dapat dikem-bangkan oleh manusia. Isyarat-isyarat ilmiah semacam ini merupakan suatu hal yang sangat mustahil dapat diketahui oleh manusia abad VI M. Ayat-ayat yang mengandung isyarat ilmiah semacam ini, semakin lama semakin banyak ditemukan dalam Alquran, sejalan dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan. Di antara ayat-ayat tersebut yang sudah dibuktikan kebenarannya melalui penemuan di bidang ilmu pengetahuan Alam antara lain:
1) Hukum Toricelly yang ditemukan pada abad XVII M, menyatakan bahwa semakin tinggi suatu tempat, maka semakin rendah tekanan udara yang ada di tempat itu. Hukum ini diisyaratkan Alquran dalam Surat Al-An'am/6: 125
yang mengisyaratkan bahwa seseorang yang naik ke langit (ke tempat yang lebih tinggi), maka akan mengalami sesak napas, karena dadanya terasa sempit. Hal ini (rasa sempit di dada), menurut Hukum Torecelly akan terjadi ketika seseorang berada pada ketinggian 12000 feet dari permukaan laut [Muhammad Ismail Ibrahim, t.t.: 89].
2) Atom bukanlah partikel terkecil yang tak dapat dibagi-bagi lagi (Q.S. 10: 61), melainkan masih dapat dipecah lagi menjadi unsur-unsur: Proton, Netron dan Elektron [Muhammad Ali Ash-Shabuni, op. cit.: 131].
… tidak ada yang luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).
3) Mata hari adalah planet yang mengeluarkan energi dan cahaya. Hal ini diisyaratkan pada (Q. S. 10: 5);
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak[. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang Mengetahui.
sedangkan bulan dan matahari beredar pada sumbunya masing-masing, sehingga terjadi kesinambungan yang sangat harmonis (tak mungkin terjadi tabrakan). Hal ini diisyaratkan pada Surat Yasin/36: 40.
Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. dan masing-masing beredar pada garis edarnya.
4) Siang dan malam tidak selalu sama lama (tempo)nya. Kadangkala malam lebih panjang daripada siang, dan kadangkala juga terjadi sebaliknya. Hal ini mengundang tanda tanya untuk dipikirkan jawabannya, seperti tersirat pada Surat Yunus/10: 6.
Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang- orang yang bertakwa.
5) Dari hasil pemantauan satelit diperoleh bukti, bahwa Jazirah Arab beserta gung-gunungnya bergerak mendekati Iran dengan pergerakan yang sangat lamban, hanya beberapa sentimeter setiap tahunnya. Isyarat ini terlihat dari Alquran, surat An-Naml/28: 88.
وترى الجبال تحسبها جامدة و هي تمر مر السحاب صنع الله الذي أتقن كل شيء إنه خبير بما تعملون
Dan kau lihat gunung-gunung, kamu kira ia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagaimana berjalannya awan. Demikian perbuatan Allah, Yang membuat kokoh setiap sesuatu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Selain dari ayat-ayat tersebut di atas, sebenarnya masih banyak lagi penemuan-penemuan ilmiah modern yang keberadaannya diisyaratkan oleh Alquran sejak empat belas abad yang lalu. Dalam kaitan ini, peran serta ilmuwan muslim dituntut untuk lebih banyak terlibat dalam penemuan-penemuan ilmiah secara obyektif, sehingga akan lebih banyak lagi menyingkap rahasia-ahasia kemukjizatan Alquran dari aspek ini.
c) Kesempurnaan Syari'atnya
Kandungan Alquran yang menjadi tujuan utama diturunkannya, yakni berupa syari'at Islam menunjukkan bentuk yang paling sempurna jika dibandingkan dengan bentuk perundang-undangan manapun yang pernah ada di dunia ini. Hal ini terbukti dengan semakin luasnya tersebar ajaran Islam ke seluruh penjuru dunia dan diterima oleh semua lapisan masyarakat, dari kurun-kr kurun hingga abad modern sekarang ini. Indikasi semacam ini, menurut William Montgomery Watt, seorang orientalis dari Skotlandia, merupakan suatu pertanda keabsahan Muhammad sebagai Nabi yang membawa ajaran ini [William Montgomery Watt, 1984: 246].
Keistimewaan lain yang dimiliki oleh Alquran ialah tekunnya para ulama, khususnya para fuqaha dan juga mutakallimin, mempelajari kandungan Alquran yang tak henti-hentinya sejak empat belas abad yang lalu; sehingga melahirkan warisan pemikiran yang patut dibanggakan hingga saat ini [Muhammad Ismail Ibrahim, 1978: 21]. Selain itu, syari'at Islam juga diakui sebagai syari'at yang sesuai dengan kebutuhan manusia, karena ia berasal dari pencipta manusia itu sendiri, yang tujuan utamanya untuk membebaskan manusia dari alam gelap gulita enuju dunia pencerahan yang terang-benderang (Q. S. Al-Baqarah/2: 257). Dalam hal ini banyak indikasi yang menunjukkan, bahwa orang-orang non-muslim pun pada akhirnya berupaya untuk kembali mengadopsi ajaran syari'at Alquran, yang semula mereka acuhkan -- baik disadari atau tidak. Seperti contoh-contoh yang dipaparkan oleh Az-Zarqani [Az-Zarqani, op. cit.: 352 - 353].
Dari ketiga klassifikasi kemukjizatan Alquran berdasarkan kandungan isinya, sebagaimana tersebut di atas, yang banyak mendapat perhatian kalangan mutakallimin sebagai obyek kajiannya, hanyalah klassifikasi yang pertama, yaitu berita-berita ghaib yang dikandung Alquran (Al-Akhbar 'An Al-Ghuyub).
Referensi:
الدكتور صبحى الصالح, مباحث فى علوم القرآن, دار العلم للملايين, بيروت, ط. 17, 1988
Dr. Shubhi ash-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Alquran (Penterjemah Tim Pustaka Firdaus), Pustaka Firdaus, Jakarta, Cet. IV, 1993
الدكتور مناع خليل القطان, مبلحث فى علوم القرآن, منشورة العصر الحديثة, رياض, 1973
Dr. Manna’ Khalil al-Qaththan, Study Ilmu-ilmu Quran (Penterjemah Drs. Mudzkir AS.), Litera Antar Nusa, Bogor, Cet. I, 1992
جلال الدين عبد الرحمن السيوطى, الإتقان فى علوم القرآن, مصطفى البابى الحلبى, مصر, 1951
محمد عبد العظيم الزرقانى, مناهل العرفان فى علوم القرآن, دار الفكر, بيروت, لبنان, 1988
الدكتور محمد حسين الذهبى, التفســـير والمفســرون, دار الكتب الحديثة, 1976
TAFSIR, TA'WIL DAN TARJAMAH
A. Pengertian Tafsir, Ta’wil dan Tarjamah
a. Tafsir
Secara bahasa kata Tafsir ( تفســير ) berasal dari kata فَسَّرَ yang mengandung arti: الإيضاح و البيان (keterangan dan penjelasan), yakni menyingkap dan menampak-kan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata الفســر berarti menyingkapkan sesuatu yang tertutup.i
Menurut istilah, Tafsir berarti Ilmu untuk mengetahui isi kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammas Saw. dan penjelasan maknanya serta pengambilan hukum dan makna-maknanya.ii Definisi lain tentang pengertian Tafsir dikemukakan oleh As-Shabuni, bahwa Tafsir adalah Ilmu yang membahas tentang Al-Quranul-Kariem dari segi pengertiannya terhadap maksud Allah sesuai dengan kemampuan manusia.iii
b. Ta’wil
Sedangkan pengertian Ta’wil, menurut sebagian ulama, sama dengan Tafsir. Namun ulama yang lain membedakannya, bahwa ta’wil adalah mengalihkan makna sebuah lafazh ayat ke makna lain yang lebih sesuai karena alasan yang dapat diterima oleh akal.iv Sehubungan dengan itu, Asy-Syathibi [t.t.: 100] mengharuskan adanya dua syarat untuk melakukan penta’wilan, yaitu: (1) Makna yang dipilih sesuai dengan hakekat kebenaran yang diakui oleh para ahli dalam bidangnya [tidak bertentangan dengan syara’/akal sehat], (2) Makna yang dipilih sudah dikenal di kalangan masyarakat Arab klasik pada saat turunnya Alquran].
Dari pengertian kedua istilah ini dapat disimpulkan, bahwa Tafsir adalah penjelasan terhadap makna lahiriah dari ayat Alquran yang penegrtiannya secara tegas menyatakan maksud yang dikehendaki oleh Allah; sedangkan ta’wil adalah pengertian yang tersirat yang diistimbathkan dari ayat Alquran berdasarkan alasan-alasan tertentu, sehingga dapat ditetapkan suatu makna khusus untuk ayat tersebut.
c. Tarjamah
Sedangkan Tarjamah, secara bahasa berati memindahkan lafal dari suatu bahasa ke bahasa lain. Dalam hal ini, memindahkan lafal ayat-ayat Alquran yang berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Dalam pelaksanaannya, tarjamah terbagi kepada tiga bentuk:
1)Tarjamah Harfiah/Lafzhiah: yaitu memindahkan lafal dari suatu bahasa ke bahasa lain dengan cara memindah bahasakan kata-demi kata, serta tetap mengikuti susunan (uslub) bahasa yang diterjemahkan .
2)Tarjamah Ma’nawiah/Tafsiriah: Sebagian ulama ada yang membedakan antara tarjamah ma’nawiah dengan tarjamah tafsiriah, sedangkan sebagian lainnya menganggap keduanya adalah sama.
B. Macam-macam tafsir berdasarkan sumbernya
Berdasarkan sumber penafsirannya, tafsir terbagi kepada dua bagian: Tafsir Bil-Ma’tsur dan Tafsir Bir-Ra’yi. Namun sebagian ulama ada yang menyebutkannya tiga bagian.
1.Tafsir Bilma’tsur adalah tafsir yang menggunakan Alquran dan/atau As-Sunnah sebagai sumber penafsirannya. Contoh Kitab-kitab Tafsir Bil-Ma’tsur antara lain:
a. Tafsir Al-Qur’anu al-‘Azhim (القرآن العظيم), karangan Abu al-Fida’ Ismail bin Katsir al-Qarsyi al-Dimasyqy, terkenal dengan sebutan Ibnu Katsir (w. 774H.)
b. Tafsir Jami’ al-Bayan Fi Tafsir al-Qur’an(جامع البيان), karangan Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabary, dikenal dengan sebutan Ibnu Jarir At-Thabary (225 H. – 310 H.)
c. Tafsir Ma’alim al-Tanzi, (معالم التنزيل), dikenal dengan sebutan al-Tafsir al-Manqul, karangan al-imam al-Hafizh al-Syahir Muhyi al-Sunnah Abu Muhammad bin Husein bin Mas’ud bin Muhammad bin al-Farra’ al-Baghawy al-Syafi’iy, dikenal dengan sebutan Imam al-Baghawy (w. 462 H.)
d. Tafsir Tanwir al-Miqyas Min Tafsir Ibn ‘Abbas(التنوير المقياس من تفسير ابن عباس), karangan Majd al-din Abu al-ThahirMuhammad bin Ya’qub bin Muhammad bin Ibrahim bin Umar al-Syairazi al-Fairuzabadi, dikenal dengan sebutan al-fairūzâbâdi (Lahir tahun 729 H.)
e. Tafsir al-Bahr (البحر), karangan al-‘Allamah Abu al-Layts al-Samarqandy
2. Tafsir Bir-Ra’yi adalah Tafsir yang menggunakan rasio/akal sebagai sumber
penafsirannya. Kitab-kitab Tafsir yang tergolong sebagai tafsir bil-Ra’yi antara lain:
a.Madarik al-Tanzil Wa Haqaiq al-T’wil (مدارك التنزيل و حقائق التأويل) Karangan Abu al-Barakah Abdullah bin Ahmad bin Muhammad An-Nasafy (w. 701H.),
b.Anwar al-Tanzil Wa Asrar al-Ta’wil (أنوار التنزيل و أسرار التأويل) Karangan Qadhi al-Qudhat Nashiruddin Abdullah bin Muhammad ‘Aly Al-Baidhawy al-Syafi’iy (w. 691H.),
c.Lubab al-Ta’wil Fi Ma’ani al-Tanzil (لباب التأويل في معاني التنزيل) Karangan Al-Khazin,
d.Mafatih al-Ghaib (مفاتيح الغيب) Karangan Abu Abdillah Muhammad bin ‘Umar bin al-Husein, bin al-Hasan bin ‘Aly al-Tamamy al-Bakry al-Thibristany al-Razy, masyhur dengan gelar “Fakhruddin” al-Razy (w. 544H),
e.Tafsir al-Jalalain (الجلالين)Karangan dua orang Mufassir yang sama-sama bernama Jalaluddin, yaitu: Jalaluddin al-Mahalli (w. 876 H.) dan Jalaluddin al-Suyuthi
3. Tafsir Bil Isyarah, Penafsiran Alquran dengan firasat atau kemampuan intuitif yang biasanya dimiliki oleh tokoh-tokoh shufi, sehingga tafsir jenis ini sering juga disebut sebagai tafsir shufi. Contoh kitab-kitab Tafsir Bil-Isyarah/Tafsir sufi antara lain:
a. Gharaib al-Qur’an Wa Raghaib al-Furqan (غرائب القرآن و رغائب الفرقان) Karangan Nizhamuddin al-Hasan bin Muhammad al-Husein al-Khurasany al-Naisabury
b. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim (تفسير القرآن العظيم) Karangan Abu Muhammad Sahl bin Abdullah bin Yunus bin Abdullah al-Tustary (w. 383 H.)
c. Haqaiq al-Tafsir ( حقائق التفسير) KaranganAbu Abdirahman, Muhammad bin al-Husein Al-Sulami (Lahir 330 H.)
DAFTAR PUSTAKA
1.Dr. Shubhi ash-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Alquran (Penterjemah Tim Pustaka Firdaus), Pustaka Firdaus, Jakarta, 1993
2.Dr. Manna’ Khalil al-Qaththan, Study Ilmu-ilmu Quran (Penterjemah Drs. Mudzkir AS.), Litera Antar Nusa, Bogor, 1992
3. Prof. Dr. TM. Hasbi Ash-Shiddieqie, Ilmu-ilmuAlquran, Bulan Bintang, Jakarta.
4.www.bamkuluq.blogspot.com
No comments:
Post a Comment