Untuk Respon Lebih Cepat Mengenai Pertanyaan Yang Berhubungan Dengan Artikel Di Maktabah Udiatama Silahkan Kirim Pesan Ke udy_hariyanto@yahoo.com

Pelangi Cinta di Kota Satria

Oleh: Udy Hariyanto

Sinar matahari telah menembus celah-celah dinding asrama ketika gadis berkerudung merah itu keluar dari gerbang pesantren. Terlintas dalam hati-Pur “ SubhanAllah... cantik,”. Seperti  biasanya sehabis ngaji pagi, Pur dan  teman-temannya duduk diruang berkursi bambu itu, ruang kecil yang pas buat tongkrongan. Selain enak buat ngobrol dari ruang itu juga bisa memantau lalu-lalang santri yang hendak masuk atau keluar pondok. Oleh karenanya Pur dan teman-temannya tidak pernah melewatkan acara dopokan “ ngobrol ” pagi di ruang itu. Belum beranjak Pur dan teman-temannya dari ruang itu gadis berkerudung merah kembali lewat gerbang dorong yang tidak pernah ditutup itu, kali ini lebih jelas karena tampak dari depan. Pandangan Pur begitu jeli menelusuri satu persatu perawakan gadis itu, wajahnya begitu bercahaya, senyumnya mengguncang jiwa, alunan tangannya bak melati di bukit sofa. Hati Pur pun bertanya-tanya “ siapakah gadis berkerudung merah itu?”.
Kejadian pagi itu membuat Pur semakin rajin nongkrong di ruang berkursi bambu, berharap gadis berkerudung merah muncul dari balik gerbang dorong. Pur pun rela berlama-lama di ruang itu, demi menghilangkan rasa penasarannya. Akan tetapi, sepertinya pagi itu bukan pagi yang baik bagi Pur, dari sekian  banyak santri putri yang keluar masuk pondok tidak tampak si kerudung merah. Akhirnya, Pur memutuskan kembali ke kamar. Sesampainya di kamar tiba-tiba terpikir oleh Pur “ eh..! jangan-jangan hari ini ia tidak pake kerudung merah “, dengan segera Pur berlari menuju ruang berkursi bambu. Kembali ia menunggu berharap gadis itu muncul dari balik gerbang dorong meskipun tidak berkerudung merah. Lama ia menunggu akan tetapi yang mondar-mandir di gerbang dorong bukan gadis berkerudung merah melainkan si gempal, tetangga kamar di asrama lantai dua, kekecewaan tampak pada wajah Pur.
Masih penasaran dengan gadis berkerudung merah Pur pun menanyakan perihal bidadari itu ke teman-teman sekamarnya.
“ Oh..! itu, si Afi..! anak jurusan pendidikan agama di Universitas Islam Djenderal Soedirman “, kata si Alung!.  
Pur seakan tidak percaya, “Ah.! Masa si, berarti kita satu kampus”.
Pur baru tahu kalau Afifurahmah yang akrab di panggil Afi itu ternyata satu kampus dengannya. Ia jurusan pendidikan agama sedangkan Pur jurusan pendidikan guru.
Waktu menunjukkan jam setengah tujuh, tidak seperti biasanya kali ini Pur sudah siap berangkat kekampus, tak lain gadis kerudung merahlah yang membuatnya begitu bersemangat. Dengan senyum mengembang ia pacu motor merahnya menuju kampus. Sepuluh menit kemudian sampailah ia didepan kampus, ternyata gerbang masih tutup. Ia mencoba mendorong sendiri gerbang kampus, maklum kampus masih sepi satpam juga tak ada di posnya. Setelah memarkir motornya, Pur pun duduk ditaman depan fakultasnya sambil memantau satu persatu mahasiswa yang baru datang.
Dua jam sudah Pur duduk ditaman yang datang hanyalah mahasiswa-mahasiswa UKM dan beberapa tukang sapu yang terlihat sedang merapikan taman. Kegundahan tampak pada wajah Pur. Sampai akhirnya tukang sapupun berangsur mendekati tempat duduknya.
Terucap oleh Pur “ Pak..! kok masih sepi ya?.
Sontak tukang sapupun menjawab “ Ya iyalah mas wong hari minggu.
“Astaghfirullahal’adzim...kirain hari senin” Ucap Pur.
“Ngelindur ya mas!” Ledek tukang sapu.
Ia baru sadar kalau ternyata hari itu hari minggu.
Kisah petualangan cinta Pur berlanjut di kelas pengembangan bahasa. Universitas tempat ia kuliah mewajibkan setiap mahasiswanya memiliki kelebihan dalam penguasaan bahasa arab. Oleh karenanya ada program kampus tambahan yaitu pengembangan bahasa. Setiap mahasiswa wajib mengikutinya termasuk Pur dan Afi. Dan sore itu Pur harus mengikuti pengembangan bahasa kebetulan ia dapat ruang di kelas B jurusan dakwah lantai dua. Karena jadwal kulyah hari itu padat ia terlambat datang ke kelas pengembangan. Dengan berlari kecil ia langsung menuju lantai dua jurusan dakwah. Sedikit lega karena pintu kelas masih terbuka tanpa pikir panjang ia langsung masuk. Sesaat konsentrasinya dibuat buyar oleh sosok manis di kursi terdepan, tanpa sadar bibirnya bergerak “Afi...”.
“ Kelas apa sampeyan Mas?, Mas..! Mas..! woi...” Tanya pak Zainal dosen pengembangan bahasa kelas itu.
Dengan gagap Pur menjawab “ Tadi jadwal penuh Pak! ”.
Serentak seisi kelaspun tertawa. “ Eh...! saya nggak nanya jadwal, sampeyan kelas apa? “ Pak Zainal mengulangi pertanyaannya.
“Oh saya kelas B pak!“ Pur menjawab. Kembali seisi kelas menertawakannya.
“ Sampeyan salah kelas, ini kelas A “ Ucap Pak Zainal.
“ Maaf Pak..! “Pur keluar kelas dengan rasa malu.
Ternyata kelas B berada di sebelah kelas A persis. Hari itu pun Pur tidak bisa mengikuti kelas bahasa dengan khusyuk, masih terbayang kejadian salah kelas tadi. Ia berandai-andai “ Kalau saja aku kelas A pasti bisa melihat Afi terus”.
Pelajaran terasa begitu membosankan, tak satupun meteri ia pahami. Tak lama kemudian dosen mengatakan “ Kita akhiri pertemuan hari ini,...! ” sontak teriakan mahasiswapun menggema, ia begitu bersemangat berkemas berharap kelas sebelah belum bubar. Sesuai harapan, kelas A belum keluar dan pintu tetap terbuka. Ia pelankan langkah ketika melewati depan kelas Afi, persis didepan pintu ia layangkan pandangan kedalam. Hatinya berdebar-debar ketika Afi juga menatapnya. Hari itu Pur pulang dengan senyuman.
Seperti kebanyakan orang yang sedang jatuh cinta sehari terasa seminggu seminggu terasa sebulan, begitu pula Pur menunggu seminggu kelas pengembangan bahasa terasa begitu lama. Ya, meskipun ia tidak sekelas dengan Afi akan tetapi lewat depan kelasnya cukup membuatnya bahagia.
Kelas pengembangan bahasa menjadi kelas yang ditunggu-tunggu oleh Pur. Seperti biasa ia sengaja datang terlambat agar bisa melihat Afi, begitulah yang ia lakukan setiap ada kelas bahasa sampai akhirnya teguranpun datang dari dosen pembimbingnya karena terlalu seringnya datang terlambat.
Minggu ke enam kelas pengembangan bahasa sepertinya menjadi hari yang berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Hari itu Pur girang bukan main sehabis kelas pengembangan bubar. Seperti biasa ia selalu melirikkan pandangan ke kelas A yang ia lewati, kali ini bukan hanya tatapan Afi si bidadari pujaan hati yang ia dapat namun juga lambaian tangan, secerah harapan muncul sepertinya ia mulai membuka diri. Efek kejadian itu pikirannya melayang entah kemana, jarak kampus ke pondok yang biasa ia tempuh sepuluh menit kali ini tiga puluh menit baru nyampai akibat lamunannya sampai-sampai tak sadar rute yang ia lewati.
Bagai serigala mendapatkan mangsa, siang itu menjelang masuk kelas pengembangan Hpnya berbunyi. Ada sms dari nomer yang tidak ia kenal “Mas...! kelas A udah masuk belum?”.
“ Maaf ini siapa ya?” Pur membalas.
“ Afi..! “ jawaban singkat Afi.
Dengan girangnya Purpun langsung membalas “ Oh.. belum kok, baru ada beberapa yang datang dosennya juga belum datang, kelas B juga belum ada orang. Tapi Pak Zainal tadi kayaknya ada kok, emang Afi lagi dimana? Ikut kan hari ini?”.
Berawal dari sms itu Pur dan Afi semakin akrab meskipun baru sekedar saling sms. Akhirnya waktu itupun datang, Pur tak sanggup lagi menahan persaannya dengan penuh keberanian ia sampaikan rasa cintanya pada Afi dengan sms gombalnya
“Buah strobery buah manggis beli banyak dipasar baru,
wahai engkau bidadari yang manis maukah dinda jadi pacarku”.
Sehari, dua hari, tiga hari  tak ada jawaban dari Afi, Pur mulai stress karena tak kunjung ada jawaban. Bahkan jika harus berpapasan dengan Afi ia memilih menghindar, sampai akhirnya kelas pengembangan bahasa berikutnyapun masuk lagi. Satu minggu sudah Pur menembak Afi tapi belum ada kepastian darinya Pur masih tetap berharap. Sore itu ada yang berbeda dari biasanya kelas A dan B keluar bersamaan, sepertinya ada rencana lain dari Tuhan. Disaat Pur sedang galau menunggu jawaban Afi tiba-tiba ada cewek memanggil “ Mas Pur...! ”, dengan penuh penasaran ia pun menengok kebelakang, ternyata sang bidadari pujaan hati! ya Afi cewek yang selama ini membuat hidupnya menggantung di antara langit dan bumi. Mereka pun berjalan berdua meninggalkan gedung fakultas dakwah. Beberapa langkah lepas dari fakultas dakwah terucap dari bibir manis Afi
“ Mas saya ya..! ”.
Pur tak paham kata-kata Afi “ Ya apa maksudnya? ” tanya Pur. ”
“ Ya saya terima “ jelas Afi.

seketika itu Pur sujud syukur cintanya tak bertepuk sebelah tangan. Sejak ada kepastian jawaban dari Afi hidup Pur menjadi berwarna seperti ada ruh baru yang merasuki dirinya. Bersambung...

Disadur dari Bujang Merana 2014
Baca Juga...



  • Bakso Cinta Untuk Nurlela


  • 1 comment: