Untuk Respon Lebih Cepat Mengenai Pertanyaan Yang Berhubungan Dengan Artikel Di Maktabah Udiatama Silahkan Kirim Pesan Ke udy_hariyanto@yahoo.com

KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADITS

A.  KEDUDUKAN HADITS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM
Seluruh umat islam telah sepakat bahwa hadits Rasulullah SAW merupakan sumber dan dasar hukum islam setelah al quran, dan umat islam diwajibkan mengikuti hadits sebagaimana diwajibkan mengikuti al quran[1].Banyak dalil-dalil baik dari Al quran maupun hadits yang memberikan pengertian bahwa hadits merupakan sumber hukum selain Al quran yang wajib diikuti. Diantara dalil-dalil yang menunjukkan bahwa hadits adalah sumber hukum islam yaitu;
Dalil dari Al quran:
...وانزلنااليك الذكرلتبين للناس مانزل اليهم...( النحلل 44)
“Kami telah menurunkan peringatan (Al quran) kepada engkau (Muhammad) supaya kamu menerangkan kepada segenap manusia tentang apa-apa yang diturunkan kepada mereka” (QS An Nahl 44)
...ومااتكمم الرسوفخذوه ومانهكم عنه فانتهوا...( الحشر 7)
“Apa-apa yang didatangkan oleh rasul kepada kamu, hendaklah kamu ambil dan apa yang dilarang bagimu hendaklah kamu tinggalkan” (QS Al Hasyr)
Dari ayat-ayat diatas nyatalah bahwa sunah itu merupakan penjelasan dari Al quran, sunah itu diperintahkan oleh Allah untuk dijadikan sumber hukum dalam islam.[2]
Dalil dari hadits:
تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما كتاب الله وسنتي
“Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh pada keduanya yaitu kitab Allah dan sunnahku.” (HR Al Hakim dan Malik)[3]
Kesepakatan Ulama (ijma’)
Diantara contoh peristiwa yang menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan hadits sebagai sumber hukum islam seperti yang dikutip munzier suparta dari kitab musnad Ahmad bin Hambal antara lain:
a.    Ketika Abu Bakar di baiat menjadi khalifah, ia pernah berkata “Saya tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan/dilaksanakan Rasulullah, sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya”.
b.    Saat Umar berada didepan hajar aswad ia berkata “saya tahu bahwa engkau adalah batu, seandainya saya tidak melihat rasullullah menciummu, saya tidak akan menciummu”.[4]
Banyak sekali ulama yang berpendapat mengenai kehujahan sunnah, namun dari berbagai pendapat para ulama tersebut secara garis besar yaitu;[5]
1.    Para ulama sepakat bahwa sunnah sebagai hujah, semua umat islam menerima dan mengikutinya, kecuali sekelompok minoritas orang.
2.    Kehujjahan sunnah ada kalanya sebagai mubayyin (penjelas) terhadap Al quran atau berdiri sendiri sebagai hujjahuntuk menambah hukum-hukum yang belum diterangkan oleh Al quran.
3.    Kehujjahan sunnah berdasarkan dalil-dalil yang qath’i (pasti), baik dari ayat-ayat Al quran atau hadits Nabi dan atau rasio yang sehat maka bagi yang menolaknya dihukumi murtad.
4.    Sunnah yang dijadikan hujjah tentunya sunnah yang telah memenuhi persyaratan shahih, baik mutawwatir atau ahad.
Sesuai dengan Petunjuk Akal
Kerasullan Nabi Muhammad telah diakui dan dibenarkan oleh umat islam. Bila kerasullan Nabi Muhammad SAW telah diakui dan dibenarkan, maka sudah selayaknya segala peraturan dan perundang-undangan serta inisiatif beliau, baik yang beliau ciptakan atas bimbingan ilham atau atas hasil ijtihad semata, ditempatkan sebagai sumber hukum dan pedoman hidup.[6] Disatu sisi Nabi Muhammad SAW adalah orang yang ma’sum (terjaga) yang segala ucapan dan amal perbuatannya berdasarkan perintah dan pengawasan Alloh SWT, maka sudah sepatutnya untuk diikuti.

B.  FUNGSI HADITS
1.    Bayan At taqrir
Bayan at taqrir atau disebut juga bayan at ta’kid dan bayan al itsbat yaitu menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam Al quran. Fungsi hadits dalam hal ini hanya memperkokoh kandungan Al quran[7]. contohnya seperti hadits dibawah ini;
فأذا رأيتم الهلال فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا (رواه مسلم)
“Apabila kalian melihat (ru’yah)bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah) itu maka berbukalah”. (HR Muslim)
Hadits ini mentaqrir ayat Al quran dibawah ini;
فمن شهد منكم الشهر فليصمه (البقرة 2: 185)
“Maka barang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa...(QS Al Baqarah)
2.    Bayan At tafsir
Yaitu bahwa hadits berfungsi untuk memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat Al quran yang masih bersifat global (mujmal), memberikan persyaratan atau batasan (taqyid) ayat-ayat yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan (takhsish) terhadap ayat-ayat yang masih bersifat umum.
1.    Tafsil al mujmal
Hadits memberi penjelasan secara terperinci pada ayat-ayat yang masih bersifat global, baik menyangkut masalah ibadah maupun hukum, sebagian ulama menyebutnya bayan tafshil atau bayan tafsir.[8]
صلوا كما رأيتموني أصلي (رواه البخارى)
“Shalatlah sebagaimana engkau melihatku shalat” (HR Al bukhari)
Hadits ini menjelaskan bagaimana sholat harus didirikan, sedangkan dalam Al quran perintah sholat tidak dijelaskan secara rinci, seperti pada ayat berikut;
وأقيموا الصلاة وأتوا الزكاة واركعوا مع الراكعين (البقرة 2 : 43)
“Dan kerjakanlah sholat, tunaikan zakat, dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’ “ (QS Al baqarah 43)
2.    Takhsish al ‘amm
Yaitu bahwa hadits mengkhususkan ayat-ayat Al quran yang umum[9], seperti pada contoh ayat berikut;
يوصيكم الله فى أولادكم للذكرمثل حظ الأنشيين (النساء 4: 11)
“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu; bahagian anak laki-laki sama dengan bahagian anak perempuan.” (QS An Nisa 11)
Ayat diatas masih umum, sedangkan hadits yang mentakhsish ayat tersebut yaitu;
نحن معاشرالأنبياء لا نورث ماتركناه
“kami para nabi tidak meninggalkan harta warisan”
Selain hadits tersebut ayat diatas juga di takhsish oleh hadits;
لا يرث القاتل
“Pembunuh tidak dapat mewarisi (harta pusaka)” (HR At Tirmidzi)
3.    Taqyid al muthlaq
Hadits membatasi kemutlakan ayat-ayat Al quran. Artinya Al quran keterangannya secara mutlaq kemudian di taqyid dengan hadits tertentu[10], misalnya pada ayat dibawah ini;
والسارق والسارقة فاقطعوا أيديهما (المائدة 5 : 38)
“Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, maka potonglah tangan-tangan mereka” (QS Al Maidah 38)
Dalam ayat tersebut tidak ada batasan tentang tangan yang harus di potong oleh karenanya ditaqyid dengan hadits berikut ini;
أتي رسول الله صلى الله عليه وسلم بسارق فقطع يده من مفصل الكف
“Rasulullah SAW didatangi seseorang dengan membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri dari pergelangan tangan”
3.    Bayan At tasyri’
Yang dimaksud dengan bayan tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati Al quran, atau dalam Al quran hanya terdapat pokok-pokoknya (ashl) saja.[11] Para ulama berbeda pendapat tentang fungsi sunnah sebagai dalil pada suatu hal yang tidak disebutkan dalam Al quran. mayoritas mereka bahwa sunnah berdiri sendiri sebagai dalil hukum dan yang lain berpendapat bahwa sunnah menetapkan dalil yang terkandung atau tersirat secara implisit dalam teks Al quran.[12]
Didalam sunnah terdapat ketentuan agama yang tidak diatur dalam Al quran. Artinya, Nabi diberikan legitimasi oleh Allah untuk mengambil kebijakan, ada yang berupa penjelasan terhadap kandungan Al quran dan dalam hal-hal tertentu Nabi membuat ketetapan khusus sebagai wujud penjelasan hal yang tidak tertuang eksplisit dalam Al quran.[13] Surat Al A’raf ayat 157 menunjukkan demikian. Disana disebutkan;
ويحل لهم الطيبات ويحرم عليهمم الخبائث... (الأعرف 157)
“…Dan Nabi menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk” (QS Al a’raf 157)
Contoh hukum yang tidak terdapat dalam Al quran tetapi hanya terdapat dalam hadits yaitu; larangan menikahi seorang wanita bersama bibinya dalam waktu yang sama[14].
...لا يجمع بين المرأة وعمتها ولا بين المرأة وخالتها
“Tidak boleh dikumpulkan seorang perempuan dengan saudara ayahnya atau dengan saudara ibunya”
Selain itu juga larangan memakan daging “himar jinak” dan hewan yang mempunyai taring dan berkuku tajam. Aturan yang hanya terkandung dalam sunnah ini mengikat semua orang islam sebagaimana Al quran mengikat mereka.
4.    Bayan Al nasakh
Hadits menghapus (nasakh) hukum yang diterangkan dalam Al quran. misalnya kewajiban wasiat yang diterangkan dalam surat Al baqarah ayat 180;
كتب عليكم إذا حضرأحدكم الموت إن ترك خيراا لوصية للوالدين والأقربين بالمعروف حقا على المتقين (البقراة 2 : 180)
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah kewajiban) atas orang-orang yang bertaqwa.” (QS Al baqarah 180)
Ayat diatas dinasakh dengan hadits Nabi;
إن الله قد اعطى كل ذي حق حقه ولا وصية لوارث
“Sesungguhnya Allah member hak kepada setiap orang yang mempunyai hak dan tak ada wasiat itu wajib bagi waris.” (HR An nasa’i)
Namun demikian perlu diketahui bahwa mengenai fungsi hadits yang ke-4 ini masih terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama, ada yang membolehkan adanya naskh namun ada juga yang menolak naskh. Diantara kelompok yang membolehkan naskh yaitu; golongan mu’tazilah, hanafiyah, dan madzhab ibn hazm al dhahiri. Sedangkan ulama yang menolak naskh diantaranya yaitu imam syafi’I dan sebagian besar pengikutnya, pengikut madzhab zhahiriyah dan kelompok khawarij[15]. Terlepas dari itu tentunya mereka mempunyai alasan tersendiri wallahua’lam.


DAFTAR PUSTAKA

Suparta Munzier, Ilmu Hadits, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002
Khon Abdul Majid, Ulumul Hadits, Amzah, Jakarta, 2009
Khon Abdul Majid dkkUlumul Hadits, PSW UIN Jakarta, Jakarta, 2005
Rahman Zufran, Kajian Sunnah Nabi SAW Sebagai Sumber Hukum Islam, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, 1995



[1] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, hal : 49
[2] Zufran Rahman, Kajian Sunnah Nabi SAW Sebagai Sumber Hukum Islam, hal : 46
[3] Abdul Majid khon, Ulumul Hadits, hal : 25
[4] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, hal : 56
[5] Abdul Majid khon, Ulumul Hadits, hal : 27
[6] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, hal : 59
[7] Ibid, hal : 57
[8] Abdul Majid khon, Ulumul Hadits, hal : 17
[9] Ibid, hal : 17
[10] Ibid, hal : 18
[11] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, hal : 63
[12] Abdul Majid khon, Ulumul Hadits, hal : 19
[13] Abdul Majid khon dkkUlumul Hadits, hal : 205
[14] Ibid, hal : 205
[15] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, hal : 66

No comments:

Post a Comment