BAB I
PENDAHULUAN
Kita menyadari sepenuhnya bahwa pentingnya
bimbingan konseling bukanlah sesuatu hal baru, melainkan ia tumbuh dan
berkembang sejalan dengan lahirnya segala sesuatu dimana sumber daya harus
diorganisir, seperti halnya dalam struktur organisasi formal dalam pendidikan
merupakan bagian hidup dan kehidupan kerja dalam hubungan organisasi pendidikan
,pimpinan, pendidik dan anak didik.
Sejalan dengan pikiran diatas, maka sudah
seharusnya tumbuh dan berkembang bimbingan konseling sejalan dengan kebutuhan
untuk berusaha meningkatkan sikap dan perilaku seseorang agar yang bersangkutan
selalu siap untuk membangun kebiasaan yang produktif.
Kebiasaan yang produktif dapat tumbuh dan berkembang pada setiap orang, yang sangat
dipengaruhi oleh dua faktor, apa yang disebut 1) faktor keturunan dan 2) faktor
lingkungan. Kedua faktor tersebut menjadi latar belakang pemikiran untuk
mendorong agar mendayagunakan bimbingan konseling menjadi produktif dalam
pelaksanaannya dimana semua peran yang terlibat didalamnya harus mampu dalam
mengaktualisasikan makna baik, “bimbingan“
maupun , “konseling“.
Jadi pemikiran latar belakang untuk menumbuh kembangkan bimbingan konseling sebagai suatu kebutuhan bukanlah sesuatu yang baru, melainkan telah
ada sejalan dengan tuntutan perubahan dimana sumber daya manusia memainkan
peranan penting dalam pembangunan, oleh karena itu dalam abad 21 dari
masyarakat informasi menjadi masyarakat pengetahuan, sehingga tidak heran dalam
abad ini sering diungkapkan apa yang disebut dengan modal intelektual
menentukan keunggulan suatu bangsa.
Dengan demikian, kita sekarang dapat mengatakan, apa yang akan
terjadi bila apa yang disebut “bimbingan
konseling“ tidak berjalan sebagaimana mestinya yang dapat mendorong terwujudnya
“kebiasaan
yang produktif“ yang bertumpu atas kemajuan manusia
dalam menguasai ilmu dari informasi, pengetahuan dari keterampilan dan
keinginan dari niat yang selama ini tidak mungkin menjadi mungkin untuk
melakukan perubahan sikap dan perilaku melalui seorang konselor.
Sejalan dengan pemikiran diatas, setiap pimpinan dalam suatu birokrasi dapat melaksanakan “fungsi
koseling“ yang dalam ini tidak perlu menjadi ahli, sehingga setiap pimpinan
memiliki keterapilan bagaimana harus melakukannya, jadi bukanlah menjadi
monopoli seorang psikolog, sudah tentu tidak semua dapat menjalankan fungsi
konseling sesuai dengan harapan bagi orang yang sedang dibimbing.
Oleh karena itu, apa yang dijalankannya, ia harus mengetahui
benar-benar apa yang mereka lakukan sebagai seorang yang berperan sebagai
konselor, sehingga dalam masyarakat informasi telah menjadi anggapan bahwa
manusia merupakan aktiva penting dalam komunitas pendidikan untuk pemanfaatan
yang efektif dan secara relatif terasa puas, akan memberikan perbedaan antara
berhasil dan gagal, dengan demikian pengabdian sumber daya manusia merupakan
masalah sosial.
Jadi pemimpin dan juga pendidik dalam
organisasi atau komunitas pendidikan yang dalam hal
ini bertanggung jawab harus tertarik akan pentingnya
mendayagunakan bimbingan konseling baik untuk alasan kemanusiaan maupun yang bersifat
praktis. Dengan alasan kemanusiaanlah yang mengenal
pola yang berubah dari kehidupan kerja yang mengakibatkan adanya kesulitan da
tekanan realistis bagi banyak orang.
Hal tersebut sungguh realistis dan pragmatis bahwa mendayagunakan
bimbingan konseling merupakan alat yang paling hemat dalam meningkatkan
pelaksanaan pekerjaan dengan melihat bahwa kualitas kerja dapat sedemikian
terpengaruh oleh faktor manusia dalam melaksanakan perubahan sikap, yang
sejalan dengan tuntutan perubahan untuk menumbuh kembangkan kebiasaan yang
produktif dari pola pikiran yang bersifat reaktif menjadi pola antisipatif.
Oleh
sebab hal-hal diatas sangat perli untuk dikaji seberapa jauh peran bimbingan
konseling dalam suatu birokrasi, khusunya pada lembaga pemerintah. Karena jika
dalam suatu birokrasi peran bimbingan dan konseling maksimal pasti akan
menghasilkan output kerja yang bagus. Sebagai akibat dari semua itu pelayanan
terhadap masyarakatpun akan menjadi maksimal.
BAB II
PERAN BIMBINGAN KONSELING DALAM BIROKRASI
A. BIMBINGAN KONSELING
1. Pengertian Bimbingan Konseling
Dalam
mendefinisikan istilah bimbingan, para ahli bidang bimbingan dan konseling
memberikan pengertian yang berbeda-beda. Meskipun demikian, pengertian yang
mereka sajikan memiliki satu kesamaan arti bahwa bimbingan merupakan suatu
proses pemberian bantuan. Menurut Abu Ahmadi (1991: 1), bahwa bimbingan adalah
bantuan yang diberikan kepada individu (peserta didik) agar dengan potensi yang
dimiliki mampu mengembangkan diri secara optimal dengan jalan memahami diri,
memahami lingkungan, mengatasi hambatan guna menentukan rencana masa depan yang
lebih baik. Hal senada juga dikemukakan oleh Prayitno dan Erman Amti (2004:
99), Bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang
ahli kepada seseorang atau beberapa orang individu, baik anak-anak, remaja,
atau orang dewasa; agar orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan
dirinya sendiri dan mandiri dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana
yang ada dan dapat dikembangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku. Sementara
menurut Rogers konseling
adalah serangkaian hubungan langsung dengan individu yang bertujuan untuk
membantunya mengubah sikap dan tingkah laku.[1] Bimbingan adalah Proses pemberian bantuan
(process of helping) kepada individu agar mampu memahami dan menerima diri dan
lingkungannya, mengarahkan diri, dan menyesuaikan diri secara positif dan
konstruktif terhadap tuntutan norma kehidupan ( agama dan budaya) sehingga
men-capai kehidupan yang bermakna (berbahagia, baik secara personal maupun
sosial.
2. Jenis-jenis Bimbingan Konseling
Diantara macam-macam pelayanan Bimbingan dan
Konseling yaitu;[2]
a.
Layanan Orientasi
Yaitu layanan bimbingan dan konseling yang
memungkinkan peserta didik (klien) memahami lingkungan (seperti sekolah) yang
baru dimasuki peserta didik, untuk mempermudah dan memperlancar berperannya
peserta didik di lingkungan yang baru itu.
b.
Layanan Informasi
Yaitu layanan bimbingan dan konseling yang
memungkinkan peserta didik (klien) menerima dan memahami berbagai informasi
(seperti informasi pendidikan dan jabatan) yang dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan dan pengambilan keputusan untuk kepentingan peserta didik (klien).
c.
Layanan Penempatan dan penyaluran
Yaitu layanan bimbingan dan konseling yang
memungkinkan peserta didik (klien) memperoleh penempatan dan penyaluran yang
tepat (misalnya penempatan dan penyaluran di dalam kelas, kelompok belajar, jurusan/program
studi, program latihan, magang, kegiatan ektrakulikuler) sesuai dengan potensi,
bakat, minat erta kondisi pribadinya.
d.
Layanan pembelajaran
Yaitu layanan bimbingan dan konseling yang
memungkinkan peserta didik (klien) mengembangkan sikap dan kebiasaan belajar
yang baik dalam menguasai meteri pelajaran yang cocok dengan kecepatan dan
kemampuan dirinya, serta berbagai aspek tujuan dan kegiatan belajar lainnya.[3]
e.
Layanan Konseling Individual
Yaitu layanan bimbingan dan konseling yang
memungkinkan peserta didik (klien) mendapatkan layanan langsung tatap muka
(secara perorangan) dengan guru pembimbing dalam rangka pembahasan dan
pengentasan permasalahan pribadi yang dideritanya.
f.
Layanan Bimbingan Kelompok
Yaitu layanan bimbingan dan konseling yang
memungkinkan peserta didik (klien) secara bersama-sama melalui dinamika
kelompok memperoleh berbagai bahan dari nara sumber tertentu (teruama dari guru
pembimbing) dan/atau membahas secara bersama-ama pokok bahasan (topik) tertentu
yang berguna untuk menunjanguntuk pemahaman dan kehidupannya mereka
sehari-hari dan/atau untuk pengembangan kemampuan sosial, baik sebagai individu
maupun sebagai pelajar, serta untuk pertimbangan dalam pengambilan keputusan
dan/atau tindakan tertentu.
g.
Layanan Konseling Kelompok
Yaitu layanan bimbingan dan konseling yang
memungkinkan peserta didik (klien) memperoleh kesempatan untuk pembahasan dan
pengentasan permasalahan yang dialaminya melalui dinamika kelompok, masalah
yang dibahas itu adalah maalah-masalah pribadi yang dialami oleh masing-masing
anggota kelompok.
3. Fungsi Bimbingan Konseling
1.
Fungsi
Pencegahan (Preventif)
Fungsi
pencegahan dalam pelaksanaannya bagi konselor merupakan bagian dari tugas
kewajibannya yang amat penting. Dalam dunia kesehatan mental “pencegahan”
didefinisikan sebagai upaya mempengaruhi dengan cara yang positif dan
bijaksana, lingkungan yang dapat menimbulkan kesulitan atau kerugian itu
benar-benar terjadi (Horner & McElhaney, 1993).[4]
Layanan bimbingan bisa berfungsi pencegahan, yang artinya merupakan usaha
pencegahan terhadap timbulnya masalah.[5] Bentuk
kegiatannya bisa berupa orientasi, bimbingan karir, inventarisasi data.
Peningkatan kemampuan khusus individu diperlukan untuk memperkuat perkembangan
dan kehidupannya. Ketrampilan pemecahan masalah, ketrampilan belajar dengan
berbagai aspeknya, ketrampilan berkomunikasi dan hubungan sosial, pengaturan
pemasukan-pengeluaran uang merupakan beberapa contoh kemampuan yang perlu
ditingkatkan pada individu.
2.
Fungsi
Pemahaman
Fungsi
pemahaman yang dimaksud yaitu bimbingan dan konseling yang akan menghasilkan
pemahaman tentang sesuatu oleh pihak-pihak tertentu sesuai dengan keperluan
pengembangan siswa. Pemahaman ini mencakup:[6]
a.
Pemahaman
tentang diri siswa, terutama oleh siswa sendiri, orang tua, guru dan guru pembimbing.
b.
Pemahaman
tentang lingkungan siswa (termasuk di dalamnya lingkungan keluarga dan
sekolah), terutama oleh siswa sendiri, orang tua, guru, dan guru pembimbing.
c.
Pemahaman
tentang lingkungan yang lebih luas (termasuk di dalamnya informasi pendidikan,
jabatan, pekerjaan, dan atau karir, dan informasi budaya/nilai-nilai), terutama
oleh sekolah.
Fokus utama
pelayanan bimbingan dan konseling, yaitu klien dengan berbagai permasalahannya,
dan dengan tujuan-tujuan konseling. Berkenaan dengan kedua hal tersebut,
pemahaman yang sangat perlu dihasilkan oleh pelayanan bimbingan dan konseling
adalah pemahaman tentang diri klien beserta permasalahannya oleh klien sendiri,
dan oleh pihak-pihak yang akan membantu klien, serta pemahaman tentang
lingkungan klien oleh klien.[7]
3.
Fungsi
Pengentasan
Istilah fungsi
pengentasan ini dipakai sebagai pengganti istilah fungsi kuratif atau fungsi
terapeutik dengan arti pengobatan atau penyembuhan. Tidak dipakainya istilah
tersebut karena istilah itu berorientasi bahwa peserta didik adalah orang yang
“sakit” serta untuk mengganti istilah “fungsi perbaikan” yang berkonotasi bahwa
peserta didik yang dibimbing adalah orang “tidak baik atau rusak”. Melalui
fungsi pelayanan ini akan menghasilkan terentaskannya atau teratasinya berbagai
permasalahan yang dihadapi oleh peserta didik. Pelayanan bimbingan dan
konseling berusaha membantu pemecahan masalah-masalah yang dihadapi oleh
peserta didik, baik dalam sifatnya, jenisnya maupun bentuknya. Pelayanan dan
pendekatan yang dipakai dalam pemberian bantuan ini dapat bersifat konseling
perorangan ataupun konseling kelompok.[8]
Jadi, dalam pelaksanaan fungsi pengentasan bimbingan dan konseling
menganggap bahwa orang yang mengalami masalah itu berada dalam keadaan yang
tidak mengenakkan, sehingga harus diangkat dan dientaskan dari keadaan
tersebut.[9]
4.
Fungsi
Pemeliharaan dan Pengembangan
Fungsi
pemeliharaan dan pengembangan akan menghasilkan terpeliharanya dan
berkembangnya berbagai potensi dan kondisi positif peserta didik dalam rangka
perkembangan dirinya secara terarah mantap dan berkelanjutan.[10] Dalam
fungsi ini, hal-hal yang dipandang sudah bersifat positif dijaga agar tetap
baik dan dimantapkan. Dengan demikian, dapat diharapkan peserta didik dapat
mencapai perkembangan kepribadiannya secara optimal.
Dalam pelayanan
bimbingan dan konseling, fungsi pemeliharaan dan pengembangan dilaksanakan
melalui berbagai pengaturan, kegiatan, dan program.[11] Dalam
fungsi ini, sesuatu yang dipelihara bukanlah sekedar mempertahankan agar tetap
utuh, tetapi diusahakan agar bertambah baik, lebih menyenangkan, dan memiliki
nilai tambah daripada yang terdahulu.
5.
Fungsi
Penyaluran
Dalam fungsi
penyaluran, siswa dibimbing agar mendapatkan kesempatan penyaluran kepribadian,
bakar, minat, hobi yang dimiliki, sehingga dapat dikembangkan. Dalam fungsi
ini, layanan yang dapat dibentuk misalnya menyusun program belajar,
pengembangan bakat dan minat, serta perencanaan kariernya.
6.
Fungsi
Penyesuaian
Dalam fungsi
ini, layanan bimbingan adalah terciptanya penyesuaian antara siswa dan
lingkungannya. Dengan demikian, timbul kesesuaian antara pribadi siswa dan
sekolah. Kegiatan dalam layanan fungsi ini dapat berupa orientasi sekolah dan
kegiatan-kegiatan kelompok.
B. BIROKRASI
1. Pengertian Birokrasi
Di dalam
kesehariannya, birokrasi diartikan oleh masyarakat awam sebagai organisasi yang
tidak efisien, kaku, tidak kreatif, satu komando, terlalu banyak
“pintu”, red tape, menutup diri terhadap perbedaan pendapat (Constrain of
dissent) dan hal-hal negatif lainnya. Siapa yang tidak pernah mengungkapkan atau
mendengar kalimat “Dasar birokrat bodoh!” seperti ini, saat informasi yang kita
butuhkan tidak kunjung kita peroleh setelah “diping-pong” oleh para petugas
birokrasi ataupun saat kita sedang menghadapi petugas birokrasi yang kaku yang hanya mau tunduk
kepada aturan dan atasan.[12]
Blau dan Meyer
(1987) menyebutkan bahwa birokrasi adalah jenis organisasi yang dirancang untuk menangani
tugas-tugas administratif dalam skala besar serta mengoordinasikan pekerjaan
orang banyak secara sistematik. Konsep ini dapat diterapkan dalam
prinsip-prinsip organisasi yang tujuannya adalah meningkatkan efisiensi
administrasi, walaupun kadang-kadang malah berakibat sebaliknya. Birokrasi juga
merupakan suatu lembaga yang sangat berkuasa, yang memunyai kemampuan sangat
besar untuk berbuat kebaikan atau keburukan, karena birokrasi adalah sarana
administrasi rasional yang netral dalam skala besar. Birokrasi dapat menunjang
ekspansi yang bersifat imperialistic serta eksploitasi ekonomi terhadap
negara-negara lemah dan masyarakat miskin. Akan tetapi, mekanisme-mekanisme
administrasi berskala besar juga dibutuhkan dalam masyarakat-masyarakat modern
masa kini yang kompleks, baik itu untuk mendistribusikan pendapatan secara
tepat atau meningkatkan pengaruh warga negara terhadap pemerintahnya.
Pada mulanya,
istilah birokrasi ini dipopulerkan oleh seorang sosiolog Jerman yang bernama
Max Weber pada tahun 1890-an. Tetapi, walaupun konsep birokrasi dipopulerkan
oleh Weber, jauh hari sebelum Weber memopulerkannya, organisasi gereja,
militer, pemerintahan telah menerapkan struktur sebagaimana yang dijelaskan
oleh Weber. Usaha Weber untuk memopulerkan istilah birokrasi dilatarbelakangi
oleh merajalelanya era patrimoni, di mana tidak ada hubungan yang impersonal
dalam organisasi, semua keputusan organisasi diputuskan oleh patron sebagai
pemilik organisasi serta belum adanya sistem pengawasan yang dapat diandalkan.
Agar
pelaksanaan peraturan yang ada di dalam birokrasi berjalan dengan lancar, maka
perlu disusun hirarki kewenangan birokratik yang bentuknya seperti piramid
terbalik. Semakin ke atas, semakin besar kewenangan yang dimiliki.
Konsekuensinya adalah terjadinya konsentrasi kewenangan secara relatif pada
sedikit orang.
2. Karakteristik Birokrasi
Karakteristik atau ciri-ciri pokok dari struktur birokrasi menurut Max Weber adalah
sebagai berikut:[13]
1.
Otoritas legal.
Kegiatan sehari-hari yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi
didistribusikan melalui aturan-aturan yang telah ditentukan dan disahkan.
Pembagian tugas secara tegas melalui aturan-aturan yang resmi, memungkinkan
untuk memperkerjakan pegawai-pegawai dengan keahlian tertentu pada
jabatan-jabatan tertentu, sehingga membuat mereka bertanggung jawab atas
pelaksanaan tugas masing-masing secara efektif.
2.
Hierarki.
Sistem pengorganisasian mengikuti prinsip hierarkis, yaitu bahwa unit yang
lebih rendah berada di bawah pengawasan unit yang lebih tinggi. Setiap pejabat
yang berada dalam hierarki administrasi ini dipercaya oleh atasan-atasannya
untuk bertanggung jawab terhadap semua keputusan dan tindakan yang dilakukan
oleh anak buahnya ataupun dirinya sendiri. Untuk dapat mempertanggungjawabkan
pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan bawahannya, ia diberikan wewenang untuk
mengatur mereka. Wewenang ini secara tegas dibatasi penggunaannya hanya untuk
mengeluarkan perintah-perintah yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas-tugas
kedinasan.
3.
Abstract Code.
Di dalam suatu organisasi atau lembaga selalu terdapat aturan-aturan yang tidak
tertulis tetapi harus dipatuhi. Hal seperti ini terjadi biasanya melalui suatu
kesepakatan bersama antar anggota organisasi atau lembaga. Contohnya saja
pemakaian kemeja yang dimasukkan ke dalam celana kain bagi dosen, saat mengajar
mahasiswanya atau menghadiri rapat antar dosen. Meskipun hal itu bukan
merupakan aturan tertulis, tetapi hal itu sudah menjadi suatu etika yang harus
dipatuhi oleh kalangan dosen.
4.
Impersonal.
Seorang pejabat yang ideal harus melaksanakan tugasnya dengan semangat “Sine
ira et studio” (formal dan tidak bersifat pribadi). Hal ini dimaksudkan agar
pedoman-pedoman yang rasional bisa memengaruhi jalannnya pelaksanaan tugas
tanpa dicampuri oleh hal-hal yang bersifat pendirian pribadi. Jika seorang
pejabat membiarkan dalam dirinya berkembang perasaan-perasaan tertentu terhadap
para bawahan atau kliennya, maka ia akan kesulitan dalam membuat
keputusan-keputusan kedinasan yang bersifat objektif. Menjauhkan
hubungan-hubungan yang bersifat pribadi, mendorong untuk memperlakukan semua
orang secara adil.
5.
Competency,
career, and promotion. Pekerjaan dalam organisasi birokratis didasarkan pada
kualifikasi teknis dan dilindungi dari kemungkinan pemecatan secara sepihak.
Pekerjaan dalam organisasi birokratis mencakup suatu jenjang karier dan sistem
kenaikan pangkat yang didasarkan atas senioritas atau prestasi, atau bahkan
gabungan keduanya.
6.
Discipline.
Dalam bekerja di suatu organisasi birokratis harus benar-benar menerapkan sikap
disiplin, baik disiplin waktu, disiplin pakaian, dan disiplin porsi kerja.
Khusus untuk disiplin porsi kerja ini, artinya adalah kita tidak bisa
mencampuri pekerjaan orang lain yang berada di luar wewenang kita. Disiplin
haruslah ditegakkan oleh seorang pejabat agar pekerjaan atau tugas dapat
diselesaikan secara cepat dan tepat.
C. PERAN BK DALAM BIROKRASI
Dari apa yang telah dijelaskan sebelumnya menunjukkan bahwa birokrasi
merupakan sebuah sistem. Birokrasi terbentuk secara hirarki, itu artinya bahwa
birokrasi merupakan sistem yang terorganisasi. Dalam konteks secara umum
birokrasi erat sekali hubungannya dengan sitem pelayanan pemerintah. kalau kita
kaitkan dengan apa yang ada diindonesia, birokrasi di indonesia belum berjalan
dengan baik terutama dari sisi sumberdaya manusianya. Oleh karenanya disinilah
bimbingan konseling mempunyai peranan besar untuk menanamkan motivasi dan
nilai-nilai kebaikan kepada birokrat.
Disisi lain sistem birokrasi yang rumit rentan menyebabkan kejenuhan,
stress dan masalah psikologi lainnya. Oleh karenanya bimbingan konseling mutlak
dibutuhkan dalam birokrasi dan mempunyai peranan yang sangat penting, terlebih
seperti saat sekarang ini dimana fungsi birokrasi belum maksimal dan masih
banyak kecacatan dimana-mana. Walaupun demikian sistem birokrasinya juga
berperan terhadap buruknya pelayanan dalam birokrasi, maka perlu banyak perbaiakn.
Usaha-untuk memperbaiki penampilan birokrasi diajukan dalam bentuk teori
birokrasi sistem perwakilan. Asumsi yang dipergunakan adalah bahwa birokrat di pengaruhi oleh pandangan nilai-nilai
kelompok sosial dari mana ia berasal. Pada gilirannya aktivitas administrasi
diorientasikan pada kepen-tingan kelompok sosialnya. Sementara itu, kontrol
internal harus dapat dijalankan. Sehingga dengan
birokrasi sistem perwakilan diharapkan dapat diterapkan mekanisme kantrol
internal yang mampu mendongkrak kinerja birokrasi kearah yang lebih baik.
Konseling dalam birokrasi bisa dilakukan secara individu maupun kelompok
sesuai dengan kebutuhan dilapangan. Akan tetapi bimbingan konseling secara
kelompok saya rasa lebih efektif selama tidak ada mesalah-masalah yang
menyangkut individu secara personal. Pada dasarnya bimbingan konseling ini
mempunyai tujuan;
1.
Menghayati
nilai-nilai agama sebagai pedoman dalam berperilaku
2.
Berperilaku
atas dasar keputusan yang mempertimbangkan aspek-aspek nilai dan berani
menghadapi resiko.
3.
Memiliki
kemampuan mengendalikan diri (self-control) dalam mengekspresikan emosi atau
dalam memenuhi kebutuhan diri.
4.
Mampu
memecahkan masalah secara wajar dan objektif.
5.
Memelihara
nilai-nilai persahabatan dan keharmonisan dalamberinteraksi dengan orang lain.
6.
Menjunjung
tinggi nilai-nilai kodrati laki-laki atau perempuan sebagai dasar dalam
kehidupan social
7.
Mengembangkan
potensi diri melalui berbagai aktivitas yang positif
8.
Memperkaya
strategi dan mencari peluang dalam berbagai tantangan kehidupan yang semakin
kompetitif.
9.
Mengembangkan
dan memelihara penguasaan perilaku, nilai, dan kompetensi yang mendukung
pilihan karir.
10.
Meyakini
nilai-nilai yg terkandung dalam pernikahan dan berkeluarga sebagai upaya untuk
menciptakan masyarakat yg bermartabat.
BAB III
KESIMPULAN
Bimbingan konseling merupakan suatu usaha
untuk membantu seseorang dalam menyelesaikan masalahnya. Bukan hanya itu, akan tetapi
bimbingan konseling juga dimaksudkan untuk untuk mengembangkan potensi
seseorang. Hal ini juga yang bisa kilakukan dalam sebuah birokrasi. Setidaknya
ada beberapa peran penting bimbingan konseling dalam birokrasi yaitu; untuk
menumbuhkan kesadaran akan kejujuran, kedisiplinan, keiklhasan dan motivasi
untuk selalu melakukan yang terbaik bagi setiap birokrat. Disamping itu
bimbingan konseling dalam birokrasi memiliki peran penting untuk meningkatkan
potensi sehingga dalam mekukan pelayanan terhadap masyarakat akan muncul
kreativitas-kreativitas atau modelmodel pelayanan yang memberikan kenyamanan
terhadap masyarakat.
Disamping
itu, orang-orang dalam birokrasi rentan akan perasaan jenuh, capek, dan
membosankan, stress dan masalah psikologi lainnya. Disinilah bimbingan
konseling memegang perana penting, bimbingan konseling diarahkan untuk
meminimalisir masalah psikologi yang mungkin dialami oleh pelaku birokrasi.
Sehingga secara umum bimbingan konseling sangat dibutuhkan dalam membangun
sebuah birokrasi yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Sukardi, Dewa
Ketut, Proses Bimbingan dan Penyuluhan, Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 1995.
_______________, Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan
dan Konseling di Sekolah, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002.
Hallen A., Bimbingan dan Konseling, Jakarta:
Ciputat Pers, 2002.
Priyatno, Ermananti, Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 1999.
Blau, Peter M. dan Meyer, Marshall W., Birokrasi dlam Masyarakat Modern,
Jakarta; UI Press, 1987.
Amin, Samsul Munir, Bimbingan dan Konseling Islam, Jakarta; Amzah,
2010.
[1]
Samsul Munir Amin, Bimbingan dan
Konseling Islam, Jakarta; Amzah, 2010. Hlm. 12
[2]
Dikutip dari http://www.a741k.web44.net/bimbingan%20dan%20konseling.htm pada tanggal 10 desember 2012 jam 16.00
WIB.
[3]
Elfi Mua’awanah dan Rifa Hidayah, Bimbingan
Konseling Islami di Sekolah Dasar, Jakarta; PT Bumi Aksara, 2009. Hlm. 69
[4] Prof. Dr. Priyatno, Drs. Ermananti, Dasar-Dasar
Bimbingan dan Konseling, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1999, hlm. 203.
[5]
Drs. Dewa Ketut Sukardi, Proses Bimbingan dan Penyuluhan, Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 1995, hlm. 8.
[6]
Drs. Dewa Ketut Sukardi, Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan
Konseling di Sekolah, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002, hlm.
26-27.
[7] Prof. Dr. Priyatno, Drs. Ermananti, op.cit., hlm.
197.
[8]
Dra. Hallen A., M.Pd., Bimbingan dan Konseling, Jakarta:
Ciputat Pers, 2002, hlm. 61.
[9]
Prof. Dr. Priyatno, Drs. Ermananti, op.cit., hlm. 209.
[10]
Drs. Dewa Ketut Sukardi, Pengantar Pelaksanaan… op.cit., hlm.
26.
[11]
Prof. Dr. Priyatno, Drs. Ermananti, op.cit., hlm. 215.
[12]
Peter M. Blau dan Marshall W. Meyer,
Birokrasi dlam Masyarakat Modern, Jakarta; UI Press, 1987. Hlm. 25.
[13]
Peter M. Blau dan Marshall W. Meyer,
Birokrasi dlam Masyarakat Modern, Jakarta; UI Press, 1987. Hlm. 27.
No comments:
Post a Comment