BAB I
SEJARAH MUNCULNYA ALIRAN KALAM
A.
KHAWARIJ
Nama khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti keluar. Nama
itu diberikan kepada mereka karena mereka keluar dari barisan Ali. Tapi ada
pula pendapat yang mengatakan bahwa pemberian nama itu didasarkan atas ayat 100
dari surat An Nisa yang didalamnya disebutkan; “Keluar dari rumah lari kepada
Allah dan Rasulnya”. Dengan demikian kaum khawarij memandang diri merekasebagai
orang yang meninggalkan rumah dari kampong halamannya untuk mengabdikan diri
kepada Allah dan Rasulnya.[1]
Adapun yang dimaksud khawarijdalam terminology ilmu kalam adalah
suatu sekte/kelompok/aliran pengikut Ali
bin Abi thalib yang keluar meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan
terhadap keputusan Ali yang menerima Arbitrase (tahkim) dalam perang siffin
pada tahun 37 H/648 M, dengan kelompok bughat (pemberontak) Muawiyah bin Abi
Sufyan perihal persengketaan khilafah.[2]
Sikap Ali yang menerima tahkim sungguhpun dalam keadaan
terpaksa tidak disetujui oleh sebagian
tentaranya, mereka berpendapat bahwa hal serupa tidak dapat diputuskan oleh
arbitrase manusia. Oleh karenanya khawarij memandang bahwa ‘Ali, Mua’awiyah,
Amr Ibn al as, Abu musa Al asy’aridan lain-lain yang menerima arbitrase adalah
kafir karena Al quran mengatakan;
4 `tBur óO©9
Oä3øts !$yJÎ/
tAtRr& ª!$#
y7Í´¯»s9'ré'sù
ãNèd
tbrãÏÿ»s3ø9$#
ÇÍÍÈ
Artinya:
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka
mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS Al Maidah 44)
Mereka meminta ‘Ali mengaku salah, bahkan mengakui bahwa
dia telah kafir kerena menerima Tahkîm. Mereka desak ‘Ali supaya membatalkan
hasil kesepakatan Tahkîm. Kalau tuntutan mereka dipenuhi mereka akan kembali
berperang di pihak ‘Ali. Tentu saja ‘Ali menolak. Kesepakatan tidak boleh
dilanggar. Agama memerintahkan kita untuk menepati janji. Kalau ‘Ali
mengingkari janji koalisinya akan semakin pecah. Lagipula bagaimana mungkin dia
mau mengakui dirinya telah kafir, padahal dia tidak pernah berbuat musyrik
semenjak beriman. Karena
tuntutan mereka tidak dipenuhi oleh ‘Ali, akhirnya mereka meninggalkan kamp
‘Ali di Kufah pergi ke luar kota menuju desa Harura yang tidak seberapa jauh
dari Kufah. Dari nama desa Harura inilah, maka untuk pertama kali mereka itu
dikenal dengan nama golongan Al-Haruriyah. Di Harura inilah mereka membentuk
organisasi sediri dan memilih ‘Abdullah ibn Wahb ar-Rasibi dari Banu ‘Azd
sebagai pemimpin mereka. Karena mereka keluar dari kubu ‘Ali itulah kemudian
mereka dikenal dengan al-Khawârij, bentuk jama’ dari Khariji (yang keluar).
Semakin lama kelompok yang
memisahkan diri ke Harura semakin membesar, hingga bulan Ramadhan atau Syawal
tahun 37 H jumlah mereka sudah mencapai 12.000 orang. Dan kamp mereka kemudian
pindah ke Jukha, sebuah desa yang terletak di tepi barat sungai Tigris. ‘Ali
berusaha berunding dengan mereka tapi tidak membuahkan hasil. Secara diam-diam
sebagian mereka pergi meninggalkan Jukha, berencana pindah ke-Al-Madain tapi
ditolak oleh Gubernur setempat. Akhirnya mereka pergi ke Nahrawan. Jumlah
mereka berkumpul di Nahrawan mencapai 4000 orang di bawah pimpinan ‘Abbdullah
ibn Wahab ar-Rasibi. Semula ‘Ali tidak menanggapi secara serius gerakan-gerakan
orang Khawarij ini, sampai dia mendengar berita tentang kekejaman mereka
terhadap orang-orang Islam yang tidak mendukung pendapat mereka. Di antara yang
menjadi korban adalah ‘Abdullah ibn Khabbab, salah seorang putera sahabat Nabi.
Mereka menyerang pasukan ‘Ali pada tanggal 9 Shafar 38 H yang dikenal dengan
pertempuran Nahrawan yang mengenaskan. Hampir semua mereka mati terbunuh. Hanya
delapan orang saja yang selamat.
Sejak peristiwa Nahrawan itu lah
kelompok Khawarij yang terpencar di beberapa daerah semakin radikal dan kejam.
‘Ali sendiri kemudian menjadi korban dibunuh oleh ‘Abdurrahman ibn Muljam
Al-Murdi, yang anggota keluarganya terbunuh di Nahrawan. Memang karena
peristiwa Nahrawan ini, walaupun dari segi fisik ‘Ali dapat menumpas habis
semua Khawarij yang berada di daerah tersebut, telah mengakibatkan ‘Ali tidak
pernah bisa berangkat ke Syria. Antara tahun 39 dan 40 H berulangkali
orang-orang Khawarij membuat kegaduhan yang menguras ‘Ali untuk menghadapinya.
Mu’awiyah pun, yang setelah ‘Ali wafat menjabat kedudukan Amir al Mu’minin dan
terkenal hilm (lemah lembut dan ‘arif), selama pemerintahannya yang 20 tahun
itu, ia tidak mampu membujuk apalagi menumpas habis Khawarij.Bahkan pada masa
berikutnya Khawarij mengalami perkembangan hingga terpecah menjadi beberapa
sekte.
B.
MURJI’AH
Nama Murjiah beraal
dari kata irja atau arja’a yang bermakna penundaan,
penangguhan, dan pengharapan. Memberi harapan dalam artian member harapan
kepada para pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan Allah Swt. Selain
itu, irja’a juga bisa memiliki arti meletakkan di belakang ataumengemudikan,
yaitu orang yang mengemudikan amal dan iman. Oleh karena
itu, Murjiah berarti orang yang menunda penjelasan kedudukan
seseorang yangbersengketa, yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya
masing-masing, ke hari kiamat kelak. Ada beberapa teori yang mengemukakan asal-usul
adanya aliran Murjiah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan Irja’a atau arja dikembangkan
oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat
Islamketika terjadinya pertikaian politik dan juga bertujuan untuk
menghindarisektarianisme. Diperkirakan Murjiah ini muncul bersamaan
dengan munculnya Khawarij. Teori lain mengatakan bahwa gagasan irja, yang
merupakan basis doktrin Murjiah, muncul pertama kali sebagai gerakan politik
yang diperlihatkan oleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Muhammad
Al-Hanafiyah, sekitar tahun 695.
Teori lain
mengatakan bahwa ketika terjadi perseteruan Ali dan Muawiyah,
dilakukan Tahkim atas usulan Amr bin Ash, pengikut Muawiyah. Kelompok
Ali terpecah menjadi dua kubu, yang pro dan yang kontra. Kelompok kontra
akhirnya, yaitu kelompok keluar dari Ali Khawarij, yang memandang
bahwa keputusantakhim bertentangan dengan al-Quran. Oleh karena itu,
pelakunya melakukan dosa besar dan pelakunya dapat dihukumi kafir. Pendapat ini
ditolak oleh sebagian sahabat yang kemudian disebut Murjiah.
Aliran Murji'ah
adalah aliran Islam yang muncul dari golongan yang tak sepaham dengan Khowarij.
Ini tercermin dari ajarannya yang bertolak belakang dengan Khowarij.
Pengertian murji'ah sendiri ialah penangguhan vonis hukuman atas
perbuatan seseorang sampai di pengadilan Allah SWT kelak. Jadi, mereka tak
mengkafirkan seorang Muslim yang berdosa besar, sebab yang berhak menjatuhkan
hukuman terhadap seorang pelaku dosa hanyalah Allah SWT, sehingga seorang
Muslim, sekalipun berdosa besar, dalam kelompok ini tetap diakui sebagai Muslim
dan punya harapan untuk bertobat.
Murji’ah, baik
sebagai kelompok politik maupun teologis, diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculaan
syi’ah dan khawarij. Pada mulanya kaum Murji’ah merupakan golongan yang tidak
mau turut campur dalam pertentangan-pertentangan yang terjadi ketika itu dan
menyerahkan penentuan hukum kafir atau tidak kafirnya orang-orang yang
bertentangan itu kepada Tuhan.
Lebih lanjut
kelompok ini menganggap bahwasanya pembunuhan dan pertumpahan darah yang
terjadi di kalangan kaum muslimin sebagai suatu kejahatan yang besar. Namun
mereka menolak menimpakan kesalahan kepada salah satu di antara kedua kelompok
yang saling berperang.
Pada mulanya
kaum Murji’ah ditimbulkan oleh persoalan politik, tegasnya persoalan khalifah
yang membawa perpecahan dikalangan umat Islam setelahUsman bin Affan mati
terbunuh. Munculnya permasalahan ini perlahan-lahanmenjadi permasalahan tentang
ketuhanan. Oleh karena itu, akan membahastentang Murji’ah dan perkembangan
pemikirannya dalam mewarnai pemahamanketuhanan dalam Agama Islam.
C.
MU’TAZILAH
Sejarah munculnya mu’tazilah kelompok pemuja akal ini
muncul di kota Bashrah (IraQ), pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H,
tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifa
Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid
Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal,
kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha’ berpendapat bahwa muslim berdosa
besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri
berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan
paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya
golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya.
Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok Mu’tazilah
semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. Hingga kemudian para
dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa
khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar terwarnai
oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan
dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah).Oleh karena itu, tidaklah aneh bila
kaidah nomor satu mereka berbunyi: “Akal lebih didahulukan daripada syariat (Al
Qur’an, As Sunnah dan Ijma’) dan akal-lah sebagai kata pemutus dalam
segala hal. Bila syariat bertentangan dengan akal menurut persangkaan mereka,
maka sungguh syariat tersebut harus dibuang atau ditakwil. Ini merupakan kaidah
yang batil, karena kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah akan
perintahkan kita untuk merujuk kepadanya ketika terjadi perselisihan. Namun
kenyataannya Allah perintahkan kita untuk merujuk kepada Al-Qur’an dan
As-Sunnah, sebagaimana yang terdapat dalam Surat An-Nisa: 59. Kalaulah akal itu
lebih utama dari syariat maka Allah tidak akan mengutus para Rasul pada
tiap-tiap umat dalam rangka membimbing mereka menuju jalan yang benar
sebagaimana yang terdapat dalam An-Nahl: 36. Kalaulah akal itu lebih utama dari
syariat maka akal siapakah yang dijadikan sebagai tolak ukur? Dan banyak
hujjah-hujjah lain yang menunjukkan batilnya kaidah ini.
D.
QODARIYAH
Qadariyah berasal dari bahasa arab, yaitu dari kata qadara yang
artinya kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pengertian terminologi,
Qadariyah dalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tadak
diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta
bagi segala perbuatannya; ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas
kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat difahami bahwa
Qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang memberi penekanan atas kebebasan
dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dalam hal ini,
Harun Nasution menegaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari pengertian bahwa
manusia mempunyai qadrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan
bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tubduk pada qadar Tuhan.
Seharusnya, sebutan Qadariyah diberikan kepada aliran yang
berpendapat bahwa Qadh lawan mear menentukan segala tingkah laku manusia, baik
yang bagus maupun yang jahat. Namun, sebutan tersebut telah melekat kaum sunni,
yang percaya bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehendak. menurut Ahmad Amin,
sebutan ini diberikan kepada para pengikut faham qadar oleh lawan mereka dengan
merujuk Hadist yang menimbulkan kesan negatif bagi nama Qadariyah. Arti hadits tersebut : “kaum Qadariyah
adalah majusinya umat ini”
Kapan qadariyah muncul dan siapa tokoh-tokohnya? Merupakan dua tema
yang masih diperdebatkan. Menurut Ahmad Amin, ada ahli teologi yang mengatakan
bahwa Qadariyah pertama sekali dimunculkan oleh Ma’bad Al-jauhani dan Ghailan
Ad-Dimasyqy. Ma’bad adalah seorang tabi’i yang dapat dipercaya dan pernah
berguru pada Hasan Al-basri. Adapun Ghailan adalah seorang orator berasal dari
damaskus dan ayahnya menjadi maula usman bin Affan.
Berkaitan dengan persoalan pertama kalinya qadariyah muncul, ada
baiknya bila meninjau kembali pendapat Ahmad Amin yang menyatakan kesulitan
untuk menentukannya. Para peneliti sebelumnya pun belum sepakat mengenai hal
ini karena penganut Qadariyah ketika itu banyak sekali. Sebagian terdapat di
Irak dengan bukti bahwa gerakan ini terjadi pada pengajian Hasan Al-Bashri.
Pendapat ini dikuatkan oleh Ibn Nabatah bahwa yang mencetuskan pendapat pertama
tentang masalah ini adalah seorang kristen dari Irak yang telah masuk Islam
pendapatnya itu diambil oleh Ma’bad dan Ghailan. Sebagian lain berpendapat
bahwa fahama ini muncul di Damaskus. Diduga disebabkan oleh pengaruh
orang-orang Kristen yang banyak dipekerjakan di istana-istana khalifah. Faham Qadariyah
mendapat tantangan keras dari umat Islam ketika itu. Ada beberapa hal yang
mengakibatkan terjadinya reaksi keras ini, pertama seperti pendapat Harun
Nasution, karena masyarakat Arab sebelum Islam kelihatannya dipengaruhi oleh
faham fatalis. Kehidupan bangsa Arab ketika itu serba sederhana dan jauh dari
pengetahuan. Mereka selalu terpaksa mengalah Kepada keganasan alam, panas yang
menyengat, serta tanah dan gunungnya yang gundul. Mereka merasa dirinya lemah
dan tak mampu menghadapi kesukaran hidup kendatipun mereka sudah beragama
Islam. Karena itu, ketika faham Qadariyah dikembangkan, mereka tidak dapat
menerimanya. Faham Qadariyah itu dianggap bertentangan dengan dokterin Islam.
Kedua, tantangan dari pemerintah ketika itu. Tantangan ini sangat
mungkin terjadi karena para pejabat pemerintahan menganut faham Jabariyah. Ada
kemungkinan juga pejabat pemerintah menganggap gerakan faham Qadariyah sebagai
satu usaha menyebarkan faham dinamis dan daya kritis rakyat, yang pada
gilirannya mampu mengkeritik kebijakan-kebijakan mereka yang dianggap tidak
sesuai, dan bahkan dapat menggulingkan mereka dari tahta kerajaan.
E.
JABARIYAH
Pola pikir Jabariyah kelihatannya sudah dikenal bangsa Arab sebelum
Islam. Keadaan mereka yang bersahaja dengan lingkungan alam yang gersang dan
tandus, menyebabkan mereka tidak dapat melakukan perubahan-perubahan sesuai
dengan kemauan mereka. Akibatnya, mereka lebih bergantung pada kehendak alam.
Keadaan ini membawa mereka pada sikap pasrah dan fatalistik. Pada masa Nabi, benih-benih paham
Jabariyah itu sudah ada. Perdebatan di antara para sahabat di seputar masalah
qadar Tuhan merupakan salah satu indikatornya. Rasulullah saw. menyuruh umat
Islam beriman kepada takdir, tetapi beliau melarang mereka membicarakannya
secara mendalam. Pada masa sahabat (Khulafa at-Rasyidin) kelihatannya sudah ada
orang yang berpikir Jabariyah. Diceritakan bahwa Umar ibn al-Khatab pernah
menangkap seorang pencuri. Ketika diintrogasi, pencuri itu berkata, “Tuhan
telah menentukan aku mencuri.” Umar menghukum pencuri itu dan mencambuknya
berkali-kali. Ketika keputusan itu ditanyakan kepada Umar, ia menjawab: “Hukum
potong tangan untuk kesalahannya mencuri, sedang cambuk (jilid) untuk
kesalahannya menyandarkan perbuatan dosa kepada Tuhan.
Sebagian sahabat memandang iman kepada takdir dapat menia-dakan
rasatakut dan waspada. Ketika Umar menolak masuk suatu kotayang di
dalamnyaterdapat wabah penyakit, mereka berkata, “Apakah Anda mau lari dari
takdir Tuhan?” Umar menjawab: “Aku lari dari takdir Tuhan ke takdir Tuhan yang
lain.” Perkataan Umar ini menunjukkan bahwa takdir Tuhan melingkupi manusia
dalam segala keadaan. Akan tetapi, manusia tidak boleh mengabaikan sebab-sebab
terjadinya sesuatu, karena setiap sesuatu yang memiliki sebab berada di bawah
kekuasaan manusia (maqdurah).
Pada masa pemerintahan Bani Umayah, pandangan tentang jabar semakin
mencuat kepermukaan. Abdullah ibn Abbas dengan suratnya,memberi reaksi keras
kepada penduduk Siria yang diduga berpaham Jabariyah. Hal yang sama dilakukan
pula oleh Hasan Basri kepada penduduk Basrah. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pada
waktu itu sudah mulai banyak orang yang berpaham Jabariyah.
Dari bukti-bukti di atas dapat dikatakan bahwa cikal-bakal paham
Jabariyah sudah muncul sejak awal periode Islam. Namun, Jabariyah sebagai suatu
pola pikir (mazhab) yang dianut, dipelajari, dan dikembangkan terjadi pada
akhir pemerintahan Bani Umayah. Paham ini ditimbulkan buat pertama kalinya oleh
Ja’ad ibn Dirham. Akan tetapi yang menyebarkannya adalah Jahm ibn Shafwan.
Ja’ad sendiri menerima paham ini dari orang Yahudi di Siria. Pendapat lain menyatakan
bahwa Ja’ad menerimanya dari Aban ibn Syam’an, dan yang terakhir ini
menerimanya dari Thalut ibn Ashamal-Yahudi.Dengan demikian, paham Jabariyah
berasal dari pemikiran asing, Yahudi maupun Persia.
F.
ASY’ARIYAH
Abu al-Hasan
Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal
bin Abi Bardah bin Abi Musa al-Asy’ari (260-324 H) dianggap sebagai pendiri
alirah Asy’ariyah. Lahir di Bashrah, dan sampai usia 40 tahun dia masih
merupakan seorang penganut kalam Mu’tazilah. Dia sering menggantikan gurunya
dalam mengajar. Tetapi dalam usia kematangan berpikir seseorang, dia mengalami
konversi. Dia meninggalkan paham Mu’tazilah yang dianutyna bepuluh-puluh tahun,
dan berbalik menyerangnya dengan alat yang digunakan aliran itu sendiri, dan
sekaligus menetapkan paham baru yang dianutnya. Paham ini kemudian diikuti
banyak orang sehingga lahirlah Asy’ariyah sebagai salah satu aliran kalam dalam
Islam.
Mengenai
sebab-sebab konversi akidah yang dialami oleh Asy’ari ada berbagai versi
riwayat. Jalal Musa, seorang analisis kontemporer mengenai masalah ini,
menjelaskan sebab intrinsik berupa pergolakan spiritual Asy’ari sendiri. Di
bidang kalam, di seorang Mu’tazilah dan berguru dengan al-Juba’i; sedangkan di
bidang fikih, dia bermazhab Syafi’i dan berguru dengan Abu Ishaq al-Marwazi (w.
340 H), seorang tokoh mazhab Syafi’i di Irak. Dari kedua sisi kehidupan
intelektualnya ini, Asy’ari melihat adanya dua kubu yang memilah-milah umat
dengan kekuatannya masing-masing, yaitu kubu ulama kalam dengan kekuatan metode
rasionalnya, dan kubu ulama fikih dan hadis dengan kekuatan metode tekstualnya.
Kekuatan dua kubu tersebut diketahuinya dan ia pun memilikinya. Karena itu
timbulah keinginannya untuk menyatukan kedua kekuatan itu dalam suatu aliran,
sehigga para ulama kedua kubu itu dapat diintegrasikan pula. Realisasi idenya
ini dimulai dengan peristiwa konversi tersebut.
Di samping
membicarakan masalah penyebab intrisik peristiwa konversi, para ahli juga
membahas banyak event sejarah yang melatari konversi yang dialami Asy’ari
tersebut. Antara lain adalah riwayat dari al-Subki dan Ibn Asakir, yakni
tentang hadirnya Nabi saw dalam mimpi Asy’ari dan memberitahu kepadanya bahwa
mazhab ahli hadis yang benar, bukan Mu’tazilah yang selama ini ia anut. Dalam
riwayat lain dikatakan bahwa Asy’ari dengan gurunya (al-Juba’i) berdebat
mengenai persoalan kedudukan orang mukmin, kafir dan anak kecil di akhirat.
Dalam perdebatan terebut, al-Juba’i tidak dapat memberikan jawaban tuntas yang
memuaskan Asy’ari. Inti riwayat-riwayat tersebut adalah, bahwa Asy’ari sedang
dalam keadaan ragu-ragu dan tidak merasa puas lagi dengan airan Mu’tazilah yang
dianutnya tidak kurang dari 40 tahun.
Terlepas dari
berbagai analisis yang dikemukakan di atas, yang jelas dan merupakan fakta sejarah
adalah bahwa Asy’ari keluar dari Mu’tazilah dan kemudian membentuk aliran baru,
ketika Mu’tazilah sedang berada dalam fase kemunduran (kelemahan). Yaitu
setelah al-Mutawakil membatalkannya sebagai mazhab resmi negara, yang
selanjutnya diikuti oleh sikap khalifah berpihak kepada Ahmad bin Hanbal (tokoh
ahli hadis/salaf), rival Mu’tazilah terbesar waktu itu. Dalam hal ini, Asy’ari
menegaskan dirinya sebagai pengikut Ahmad bin Hanbal, tokoh salaf yang
disebutnya sebagai Ahl al-Sunnah.
G.
SYI’AH
Syi’ah secara
etimologi bahasa berarti pengikut, sekte dan golongan seseorang. Adapun menurut
terminologi syariat bermakna: Mereka yang berkedok dengan slogan kecintaan
kepada Ali bin Abi Thalib beserta anak cucunya bahwasanya Ali bin Abi Thalib
lebih utama dari seluruh shahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk
kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau.
(Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal, 2/113, karya Ibnu Hazm). Sedang dalam
istilah syara’, Syi’ah adalah suatu aliran yang timbul sejak masa pemerintahan
Utsman bin Affan yang dipimpin oleh Abdullah bin Saba’ Al-Himyari.
Abdullah bi
Saba’ mengenalkan ajarannya secara terang-terangan dan menggalang massa untuk
memproklamasikan bahwa kepemimpinan (imamah) sesudah Nabi Muhammad saw seharusnya
jatuh ke tangan Ali bin Abi Thalib karena suatu nash (teks) Nabi saw. Menurut
Abdullah bin Saba’, Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman telah mengambil alih
kedudukan tersebut. Dalam Majmu’ Fatawa, 4/435, Abdullah bi Shaba menampakkan
sikap ekstrem di dalam memuliakan Ali, dengan suatu slogan bahwa Ali yang
berhak menjadi imam (khalifah) dan ia adalah seorang yang ma’shum (terjaga dari
segala dosa).
Keyakinan itu
berkembang terus-menerus dari waktu ke waktu, sampai kepada menuhankan Ali bin
Abi Thalib. Berhubung hal itu suatu kebohongan, maka diambil suatu tindakan
oleh Ali bin Abi Thalib, yaitu mereka dibakar, lalu sebagian dari mereka
melarikan diri ke Madain.
Pada periode
abad pertama Hijriah, aliran Syi’ah belum menjelma menjadi aliran yang solid. Barulah
pada abad kedua Hijriah, perkembangan Syiah sangat pesat bahkan mulai menjadi
mainstream tersendiri. Pada waktu-waktu berikutnya, Syiah bahkan menjadi
semacam keyakinan yang menjadi trend di kalangan generasi muda Islam: mengklaim
menjadi tokoh pembaharu Islam, namun banyak dari pemikiran dan prinsip dasar
keyakinan ini yang tidak sejalan dengan Islam itu sendiri.
BAB II
ANALISIS TERHADAP AKAL DAN WAHYU
Kata
akal yang menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab Al `aqli yang
terbentuk dalam kata benda. Berlainan dengan kata Al wahyi ,tidak terdapat
dalam Al qur`an. Dalam pemahaman Prof. Izuttsu, kata ‘aql dijaman jahiliyah
dipakai dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligence) yang dalam
istilah psikologi modern disebut dengan kecakapan memecahkan masalah (Problem
Solving Capacity). Orang berakal menurut pendapatnya adalah orang yang
mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah, setiap kali Ia dihadapkan pada
suatu problema dan selanjutnya dapat melepaskan diri dari bahaya yang Ia
hadapi.’Aqala juga mengandung arti, memahami dan berfikir. Tetapi timbul
pertanyaan apakah pengertian, pemikiran dan pemahaman dilakukan melalui akal
yang berpusat dikepala. Akal terbagi menjadi dua bagian :
1. Akal praktis (‘Aamilah)
yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indera pengingat yang
ada pada jiwa binatang.seperti contoh : insting seekor kucing ketika dipukul
oleh seseorang , maka pada suatu ketika saat dia beertemu dengan orang yang
memukulnya, maka dia akan lari namun dia tidak tahu sampai kapanpun mengenai
mengapa dia dipukul.
2. Akal teoritis (‘Aalimah)
yang menangkap arti-arti murni, arti-arti yang tak pernah ada dalam materi
seperti Tuhan, roh dan Malaikat. Akal praktis memutuskan perhatian
kepada alam materi, menangkap kekhususan. Akal teorotis sebaliknya bersifat
metafisis, mencurahkan perhatian kepada dunia materi dan menangkap keumuman
(kulliat universals).
Akal
teoritis mempunysi empat derajat antara lain :
a. Akal Materil (Al-‘aqli al-hayulani), yang merupakan potensi
belaka, yaitu akal yang kesanggupannya untuk menangkap arti-arti murni,
arti-arti yang tak pernah ada dalam alam materi.akal ini belum keluar, jadi
harus dicari dan diciptakan.
b. Akal bakat (al-aqli bil malakah), yaitu akal yang kesanggupannya
berfikir secara murni abstrak telah mulai kelihatan. Ia telah dapat menangkap
pengertian dan kaidah umum. Akal ini sudah tercipta tinggal manusianya yang
mengembangkan.
c. Akal aktuil (al-aqlli bil al-fi’li) yaitu akal yang telah dan
lebih mudah dan lebih banyak dapat menangkap pengertian dan kaidah dimaksud.
Akal aktuil ini merupakan gudang bagi arti-arti abstrak itu, yang dapt
dikeluarkan setiap kali dikehendaki.
d. Akal perolehan (Al-‘aqli al-mustafad), yaitu akal yang
didalamnya arti-arti abstrak tersebut selamanya sedia untuk dikeluarkan dengan
mudah sekali. Akal ini adalah milik para Nabi dan rasul Allah. Akal dalam derajat keempat inilah
akal yang tertinggi dan terkuat dayanya.
Maka
kaum teolog Islam mengartikan akal sebagai daya untuk memperoleh pengetahuan.
Menurut Abu Huzail, akal adalah daya untuk memperoleh pengetahuan, dan juga
daya yang membuat seseorang yang dapat memperbedakan antara dirinya dan
benda-benda satu dari yang lain, akal mempunyai daya untuk mengabstrakkan benda-benda
yang ditangkap panca indera. Disamping memperoleh pengetahuan, akal juga mempunyai
daya untuk membedakan antara baik dan buruk. Akal dalam pengetian Islam,
bukanlah otak, tetapi adalah daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia.
Daya yang digambarkan dalam Al qur’an, memperoleh pengetahuan dengan
memperhatikan alam sekitarnya. Akal dalam pengertian inilah yang dikontraskan
dalam Islam dengan wahyu yang membawa pengetahuan dari luar diri Manusia yaitu
Tuhan.
Wahyu
berasal dari kata Arab Al wahyu, yaitu suara, api dan kecepatan. Disamping itu
ia juga berarti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Al wahyu selanjutnya
berarti pemberitahuan secara tersembunyi dan dengan cepat. Tetapi kata itu
lebih dikenal dalam arti apa yang disampaikan Tuhan kepada Nabi-nabi. Dalam
kata wahyu dengan demikian terkandung arti penyampaian sabda Tuhan kepada orang
pilihannya agar diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan pegangan
hidup.sabda Tuhan itu mengandung ajaran, petunjuk dan pedoman yang diperlukan
umat manusia dalam perjalanan hidupnya baik didunia ini maupun diakhirat kelak. Ada tiga cara penyampaian wahyu, yang
pertama, melalui jantung hati seseorang dalam bentuk ilham. Kedua, dari
belakang tabir sebagaimana yang pernah dialami oleh Nabi Musa. Dan yang ketiga,
melalui utusan yang dikirim dalam bentuk malaikat. Sebagaimana telah dijelaskan diatas dalam konsep wahyu
terkandung pengertian adanya komunikasi antara Tuhan yang bersifat immateri dan
manusia yang besrsifat materi. Menurut ajaran tasawuf, komunikasi dengan Tuhan
dapat dilakukan melalui daya rasa manusia yang berpusat dihati sanubari. Dengan
memusatkan perhatian pada hal-hal yang bersifat murni, sufi mempertajam daya
rasa atau kalbunya dengan menjauhi hidup kematerian dan memusatkan perhatian
dan usaha pada pensucian jiwa, dengan banyak beribadah, melakukan shalat dan
berpuasa , membaca Al qur’an dan mengingat Tuhan, kalbu seorang sufi akan
menjadi semakin bersih dan jernih sehingga Ia dapat menerima cahaya yang
dipancarkan oleh Tuhan. Dalam Tasawuf dikenal tingkatan ma’rifah, dimana
seorang sufi dapat melihat Tuhan dengan kalbunya, dan dapat pula berdialog
dengan Tuhan. Dalam pada itu komunikasi seorang sufi dengan Tuhan tidak sampai
mengambil bentuk wahyu, karna wahyu adalah khusus bagi Nabi-nabi dan Rasul-rasul.
Ada beberapa aliran kalam yang
tertarik untuk memperbincangkan mengenai akal dan wahyu. Aliran-aliran kalam
yang dimaksud ini
adalah Mu’tazilah,Asy‘ariyah dan al-Maturidiyah. Masing-masing
dari aliran ini memberikan pandang pemikirannya mengenai akal dan wahyu.
Mu’tazilah merupakan salah satu
aliran kalam yang sangat rasional. Makanya tidak heran ketika memberikan
pandangan pemikirannya mengenai akal dan wahyu, maka Mu’tazilah lebih
mengutamakan akal ketimbang wahyu. Sumber pengetahuan yang paling utama
bagi Mu’tazilah adalah akal. Dalam memahami sesuatu, maka
orang-orang Mu’tazilah menggunakan wahyu terlebih dahulu kemudian
mencocokannya dengan wahyu untuk mendukung kebenaran. Mereka akan terus
mengeksplor akal mereka kendatipun wahyu bertentangan dengan akal. Sebagaimana
Drs. Sudarsono, SH. M. Si. menjelaskan.
Menurut kaum Mu’tazilah sumber
pengetahuan yang paling utama adalah akal, sedangkan wahyu berfungsi mendukung
kebenaran akal. Menurut mereka apabila terjadi pertentangan antara ketetapan
akal dan ketentuan wahyu, maka yang diutamakan adalah ketetapan akal. Adapun
ketentuan wahyu kemudian ditakwilkan sedemikian rupa supaya sesuai dengan
ketetapan akal.[3]
Walaupun
demikian, Mu’tazilah tidak meninggalkan wahyu. Sebagaimana Drs. Abuddin
Nata, M. A. menjelaskan,”sungguhpun kaum Mu’tazilah banyak
mempergunakan rasio, namun mereka tidak meninggalkan wahyu. Dalam
pemikiran-pemikirannya, mereka selalu terikat kepada wahyu yang ada dalam
Islam”.[4]
Menurut Asy‘ariyah, akal dan
wahyu memiliki fungsi yang berbeda Fungsi akal sangat kontradiksi dengan fungsi
wahyu. Fungsi akal adalah untuk mengetahui hal-hal yang konkrit/masalah fisika
saja. Ia tidak berkuasa mengetahui hal-hal yang bersifat abstrak atau
metafisik. Terutama dalam hal ketuhanan; akal tidak mampu untuk mengetahui
tugas-tugas kewajiban manusia kepada Tuhannya. Ia tidak mampu mengetahui
hukum-hukum yang baik serta yang buruk, juga tentang mana yang wajib dikerjakan
dan mana yang mesti ditinggalkan. Sedang fungsi wahyu sangat luas dan tidak terbatas.
Ia pemberi informasi kepada manusia tentang hal-hal yang bersifat metafisik,
menyingkap rahasia yang bersifat abstrak dan gaib bagi manusia.[5]
“Al-Asy’ari kelihatannya ingin
memakai wahyu dan akal secara seimbang dalam membahas soal-soal agama, namun
wahyu namapak lebih diutamakan daripada akal. Akal hanya berfungsi sebagai alat
untuk memperkuat terhadap apa yang ditegaskan oleh wahyu”.[6]
Al-Maturidiyah terbagi menjadi
dua, yaituMaturidiyah Bukhara dan Maturidiyah Samarkand.
Keduanya berbeda pendapat dalam memahami akal dan wahyu. “Jika Maturidi
Samarkand mewajibkan mengetahui Tuhan dengan akal, sedangkan Maturidi
Bukhara tidak demikian”.[7] “Wahyu
bagi golongan pertama perlu hanya untuk mengetahui kewajiban tentang baik dan
buruk, sedang menurut pendapat golongan kedua wahyu perlu untuk mengetahui
kewajiban-kewajiban manusia”.[8]
BAB III
KESIMPULAN
Demikianlah akal dan wahyu yang kami bahas dalam
pandangan aliran-aliran kalam, mereka semua mempunyai pendapat masing-masing
dalam memberikan pendapat tentang akal dan wahyu, dan dari penutup inilah
penulis menyarankan agar lebih teliti lagi dalam mambaca apa yang ada dalam
presentasi kami, dan apabila banyak kesalahan dalam pembahasan sekiranya dapat
dimaklumi dikarenakan kapasitas kemampuan kami yang sangat terbatas pada kajian
kami ini. Dari pembahasan ini kami dapat menarik benang merah yaitu :
1.
Wahyu mempunyai kedudukan yang sangat pnting dalam aliran
Asy’ariyah dan mmpunyai fungsi kecil pada aliran mu’tazilah.
2.
Mu’tazilah adalah paham yang beraliran rasional
artinya lbih mnguatkan pendapat akal dibandingkan wahyu.
3.
Asy’ariyah menjadikan wahyu mempunyai kedudukan penting
dalam alirannya disbanding akal.
4.
Maturidiyah Bukhara bahwa wahyu dan akal saling
berdampingan dan saling menguatkan dengan kata lain kedudukan wahyu dan akal
adalah seimbang.
5.
Maturidiyah Samarkand bahwa akal lebih tinggi
disbanding kedudukan wahyu dengan kata lain sama dengan pendapat aliran
Mu’tazilah tentang kedudukan wahyu dan akal.
DAFTAR PUSTAKA
Prof.
KH. M. Taib Thahir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, Widjaya, Jakarta, 1997
DR.
Abdul Rozak, M.ag. dan DR. Rosihon Anwar, M.ag., Ilmu Kalam untuk UIN,
STAIN, PTAIS, Pustaka Setia, Bandung, 2006
Harun
Nasution, Teologi Islam aliran-aliran sejarah analisa perbandingan, UI
Press, Jakarta, 2010
Harun
Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, UI Press, Jakarta, 1986
Yunan
Yusuf, M, Alam
Pemikiran Islam Pemikiran Kalam, Jakarta; Perkasa Jakarta 1990
Sudarsono, Filsafat Islam, Jakarta, PT Rineka Cipta, 2004
Abuddin
Nata, Ilmu
Kalam, Filsafat dan Tasawuf, Jakarta,
PT RajaGrafindo Persada, 1998
[1] Harun Nasution, Teologi Islam aliran-aliran sejarah analisa
perbandingan, hal 13
[2] Ibid, cet I hal 11
[3] Sudarsono, Filsafat
Islam, hlm. 5-6.
[4] Abuddin Nata, Ilmu
Kalam, Filsafat dan Tasawuf, hlm. 22.
[5] Sudarsono, Filsafat
Islam, hlm. 11.
[6] Abuddin Nata, Ilmu
Kalam, Filsafat dan Tasawuf…hlm. 75.
[8] Ibid., hlm. 77.
No comments:
Post a Comment