Untuk Respon Lebih Cepat Mengenai Pertanyaan Yang Berhubungan Dengan Artikel Di Maktabah Udiatama Silahkan Kirim Pesan Ke udy_hariyanto@yahoo.com

SEJARAH MUNCULNYA ALIRAN KALAM

BAB I
SEJARAH MUNCULNYA ALIRAN KALAM

A.    KHAWARIJ
Nama khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti keluar. Nama itu diberikan kepada mereka karena mereka keluar dari barisan Ali. Tapi ada pula pendapat yang mengatakan bahwa pemberian nama itu didasarkan atas ayat 100 dari surat An Nisa yang didalamnya disebutkan; “Keluar dari rumah lari kepada Allah dan Rasulnya”. Dengan demikian kaum khawarij memandang diri merekasebagai orang yang meninggalkan rumah dari kampong halamannya untuk mengabdikan diri kepada Allah dan Rasulnya.[1]
Adapun yang dimaksud khawarijdalam terminology ilmu kalam adalah suatu sekte/kelompok/aliran pengikut  Ali bin Abi thalib yang keluar meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima Arbitrase (tahkim) dalam perang siffin pada tahun 37 H/648 M, dengan kelompok bughat (pemberontak) Muawiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan khilafah.[2]
Sikap Ali yang menerima tahkim sungguhpun dalam keadaan terpaksa  tidak disetujui oleh sebagian tentaranya, mereka berpendapat bahwa hal serupa tidak dapat diputuskan oleh arbitrase manusia. Oleh karenanya khawarij memandang bahwa ‘Ali, Mua’awiyah, Amr Ibn al as, Abu musa Al asy’aridan lain-lain yang menerima arbitrase adalah kafir karena Al quran mengatakan;
4 `tBur óO©9 Oä3øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrãÏÿ»s3ø9$# ÇÍÍÈ  
Artinya: Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS Al Maidah 44)
 Mereka meminta ‘Ali mengaku salah, bahkan mengakui bahwa dia telah kafir kerena menerima Tahkîm. Mereka desak ‘Ali supaya membatalkan hasil kesepakatan Tahkîm. Kalau tuntutan mereka dipenuhi mereka akan kembali berperang di pihak ‘Ali. Tentu saja ‘Ali menolak. Kesepakatan tidak boleh dilanggar. Agama memerintahkan kita untuk menepati janji. Kalau ‘Ali mengingkari janji koalisinya akan semakin pecah. Lagipula bagaimana mungkin dia mau mengakui dirinya telah kafir, padahal dia tidak pernah berbuat musyrik semenjak beriman. Karena tuntutan mereka tidak dipenuhi oleh ‘Ali, akhirnya mereka meninggalkan kamp ‘Ali di Kufah pergi ke luar kota menuju desa Harura yang tidak seberapa jauh dari Kufah. Dari nama desa Harura inilah, maka untuk pertama kali mereka itu dikenal dengan nama golongan Al-Haruriyah. Di Harura inilah mereka membentuk organisasi sediri dan memilih ‘Abdullah ibn Wahb ar-Rasibi dari Banu ‘Azd sebagai pemimpin mereka. Karena mereka keluar dari kubu ‘Ali itulah kemudian mereka dikenal dengan al-Khawârij, bentuk jama’ dari Khariji (yang keluar).
Semakin lama kelompok yang memisahkan diri ke Harura semakin membesar, hingga bulan Ramadhan atau Syawal tahun 37 H jumlah mereka sudah mencapai 12.000 orang. Dan kamp mereka kemudian pindah ke Jukha, sebuah desa yang terletak di tepi barat sungai Tigris. ‘Ali berusaha berunding dengan mereka tapi tidak membuahkan hasil. Secara diam-diam sebagian mereka pergi meninggalkan Jukha, berencana pindah ke-Al-Madain tapi ditolak oleh Gubernur setempat. Akhirnya mereka pergi ke Nahrawan. Jumlah mereka berkumpul di Nahrawan mencapai 4000 orang di bawah pimpinan ‘Abbdullah ibn Wahab ar-Rasibi. Semula ‘Ali tidak menanggapi secara serius gerakan-gerakan orang Khawarij ini, sampai dia mendengar berita tentang kekejaman mereka terhadap orang-orang Islam yang tidak mendukung pendapat mereka. Di antara yang menjadi korban adalah ‘Abdullah ibn Khabbab, salah seorang putera sahabat Nabi. Mereka menyerang pasukan ‘Ali pada tanggal 9 Shafar 38 H yang dikenal dengan pertempuran Nahrawan yang mengenaskan. Hampir semua mereka mati terbunuh. Hanya delapan orang saja yang selamat.
Sejak peristiwa Nahrawan itu lah kelompok Khawarij yang terpencar di beberapa daerah semakin radikal dan kejam. ‘Ali sendiri kemudian menjadi korban dibunuh oleh ‘Abdurrahman ibn Muljam Al-Murdi, yang anggota keluarganya terbunuh di Nahrawan. Memang karena peristiwa Nahrawan ini, walaupun dari segi fisik ‘Ali dapat menumpas habis semua Khawarij yang berada di daerah tersebut, telah mengakibatkan ‘Ali tidak pernah bisa berangkat ke Syria. Antara tahun 39 dan 40 H berulangkali orang-orang Khawarij membuat kegaduhan yang menguras ‘Ali untuk menghadapinya. Mu’awiyah pun, yang setelah ‘Ali wafat menjabat kedudukan Amir al Mu’minin dan terkenal hilm (lemah lembut dan ‘arif), selama pemerintahannya yang 20 tahun itu, ia tidak mampu membujuk apalagi menumpas habis Khawarij.Bahkan pada masa berikutnya Khawarij mengalami perkembangan hingga terpecah menjadi beberapa sekte.
B.     MURJI’AH
Nama Murjiah beraal dari kata irja atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Memberi harapan dalam artian member harapan kepada para pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan Allah Swt. Selain itu, irja’a juga bisa memiliki arti meletakkan di belakang ataumengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dan iman. Oleh karena itu, Murjiah berarti orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yangbersengketa, yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing, ke hari kiamat kelak. Ada beberapa teori yang mengemukakan asal-usul adanya aliran Murjiah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan Irja’a atau arja dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islamketika terjadinya pertikaian politik dan juga bertujuan untuk menghindarisektarianisme. Diperkirakan Murjiah ini muncul bersamaan dengan munculnya Khawarij. Teori lain mengatakan bahwa gagasan irja, yang merupakan basis doktrin Murjiah, muncul pertama kali sebagai gerakan politik yang diperlihatkan oleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah, sekitar tahun 695.
Teori lain mengatakan bahwa ketika terjadi perseteruan Ali dan Muawiyah, dilakukan Tahkim atas usulan Amr bin Ash, pengikut Muawiyah. Kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu, yang pro dan yang kontra. Kelompok kontra akhirnya, yaitu kelompok keluar dari Ali Khawarij, yang memandang bahwa keputusantakhim bertentangan dengan al-Quran. Oleh karena itu, pelakunya melakukan dosa besar dan pelakunya dapat dihukumi kafir. Pendapat ini ditolak oleh sebagian sahabat yang kemudian disebut Murjiah.
Aliran Murji'ah adalah aliran Islam yang muncul dari golongan yang tak sepaham dengan Khowarij. Ini tercermin dari ajarannya yang bertolak belakang dengan Khowarij.  Pengertian murji'ah sendiri ialah penangguhan vonis hukuman atas perbuatan seseorang sampai di pengadilan Allah SWT kelak. Jadi, mereka tak mengkafirkan seorang Muslim yang berdosa besar, sebab yang berhak menjatuhkan hukuman terhadap seorang pelaku dosa hanyalah Allah SWT, sehingga seorang Muslim, sekalipun berdosa besar, dalam kelompok ini tetap diakui sebagai Muslim dan punya harapan untuk bertobat.
Murji’ah, baik sebagai kelompok politik maupun teologis, diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculaan syi’ah dan khawarij. Pada mulanya kaum Murji’ah merupakan golongan yang tidak mau turut campur dalam pertentangan-pertentangan yang terjadi ketika itu dan menyerahkan penentuan hukum kafir atau tidak kafirnya orang-orang yang bertentangan itu kepada Tuhan.
Lebih lanjut kelompok ini menganggap bahwasanya pembunuhan dan pertumpahan darah yang terjadi di kalangan kaum muslimin sebagai suatu kejahatan yang besar. Namun mereka menolak menimpakan kesalahan kepada salah satu di antara kedua kelompok yang saling berperang.
Pada mulanya kaum Murji’ah ditimbulkan oleh persoalan politik, tegasnya persoalan khalifah yang membawa perpecahan dikalangan umat Islam setelahUsman bin Affan mati terbunuh. Munculnya permasalahan ini perlahan-lahanmenjadi permasalahan tentang ketuhanan. Oleh karena itu, akan membahastentang Murji’ah dan perkembangan pemikirannya dalam mewarnai pemahamanketuhanan dalam Agama Islam.

C.     MU’TAZILAH
Sejarah munculnya mu’tazilah kelompok pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (IraQ), pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifa Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha’ berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya.
Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. Hingga kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar terwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah).Oleh karena itu, tidaklah aneh bila kaidah nomor satu mereka berbunyi: “Akal lebih didahulukan daripada syariat (Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’)  dan akal-lah sebagai kata pemutus dalam segala hal. Bila syariat bertentangan dengan akal menurut persangkaan mereka, maka sungguh syariat tersebut harus dibuang atau ditakwil. Ini merupakan kaidah yang batil, karena kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah akan perintahkan kita untuk merujuk kepadanya ketika terjadi perselisihan. Namun kenyataannya Allah perintahkan kita untuk merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana yang terdapat dalam Surat An-Nisa: 59. Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah tidak akan mengutus para Rasul pada tiap-tiap umat dalam rangka membimbing mereka menuju jalan yang benar sebagaimana yang terdapat dalam An-Nahl: 36. Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka akal siapakah yang dijadikan sebagai tolak ukur? Dan banyak hujjah-hujjah lain yang menunjukkan batilnya kaidah ini.

D.    QODARIYAH
Qadariyah berasal dari bahasa arab, yaitu dari kata qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pengertian terminologi, Qadariyah dalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tadak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya; ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat difahami bahwa Qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dalam hal ini, Harun Nasution menegaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qadrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tubduk pada qadar Tuhan. 
Seharusnya, sebutan Qadariyah diberikan kepada aliran yang berpendapat bahwa Qadh lawan mear menentukan segala tingkah laku manusia, baik yang bagus maupun yang jahat. Namun, sebutan tersebut telah melekat kaum sunni, yang percaya bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehendak. menurut Ahmad Amin, sebutan ini diberikan kepada para pengikut faham qadar oleh lawan mereka dengan merujuk Hadist yang menimbulkan kesan negatif bagi nama Qadariyah. Arti hadits tersebut : “kaum Qadariyah adalah majusinya umat ini” 
Kapan qadariyah muncul dan siapa tokoh-tokohnya? Merupakan dua tema yang masih diperdebatkan. Menurut Ahmad Amin, ada ahli teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama sekali dimunculkan oleh Ma’bad Al-jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqy. Ma’bad adalah seorang tabi’i yang dapat dipercaya dan pernah berguru pada Hasan Al-basri. Adapun Ghailan adalah seorang orator berasal dari damaskus dan ayahnya menjadi maula usman bin Affan. 
Berkaitan dengan persoalan pertama kalinya qadariyah muncul, ada baiknya bila meninjau kembali pendapat Ahmad Amin yang menyatakan kesulitan untuk menentukannya. Para peneliti sebelumnya pun belum sepakat mengenai hal ini karena penganut Qadariyah ketika itu banyak sekali. Sebagian terdapat di Irak dengan bukti bahwa gerakan ini terjadi pada pengajian Hasan Al-Bashri. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibn Nabatah bahwa yang mencetuskan pendapat pertama tentang masalah ini adalah seorang kristen dari Irak yang telah masuk Islam pendapatnya itu diambil oleh Ma’bad dan Ghailan. Sebagian lain berpendapat bahwa fahama ini muncul di Damaskus. Diduga disebabkan oleh pengaruh orang-orang Kristen yang banyak dipekerjakan di istana-istana khalifah. Faham Qadariyah mendapat tantangan keras dari umat Islam ketika itu. Ada beberapa hal yang mengakibatkan terjadinya reaksi keras ini, pertama seperti pendapat Harun Nasution, karena masyarakat Arab sebelum Islam kelihatannya dipengaruhi oleh faham fatalis. Kehidupan bangsa Arab ketika itu serba sederhana dan jauh dari pengetahuan. Mereka selalu terpaksa mengalah Kepada keganasan alam, panas yang menyengat, serta tanah dan gunungnya yang gundul. Mereka merasa dirinya lemah dan tak mampu menghadapi kesukaran hidup kendatipun mereka sudah beragama Islam. Karena itu, ketika faham Qadariyah dikembangkan, mereka tidak dapat menerimanya. Faham Qadariyah itu dianggap bertentangan dengan dokterin Islam.
Kedua, tantangan dari pemerintah ketika itu. Tantangan ini sangat mungkin terjadi karena para pejabat pemerintahan menganut faham Jabariyah. Ada kemungkinan juga pejabat pemerintah menganggap gerakan faham Qadariyah sebagai satu usaha menyebarkan faham dinamis dan daya kritis rakyat, yang pada gilirannya mampu mengkeritik kebijakan-kebijakan mereka yang dianggap tidak sesuai, dan bahkan dapat menggulingkan mereka dari tahta kerajaan.

E.     JABARIYAH
Pola pikir Jabariyah kelihatannya sudah dikenal bangsa Arab sebelum Islam. Keadaan mereka yang bersahaja dengan lingkungan alam yang gersang dan tandus, menyebabkan mereka tidak dapat melakukan perubahan-perubahan sesuai dengan kemauan mereka. Akibatnya, mereka lebih bergantung pada kehendak alam. Keadaan ini membawa mereka pada sikap pasrah dan fatalistik. Pada masa Nabi, benih-benih paham Jabariyah itu sudah ada. Perdebatan di antara para sahabat di seputar masalah qadar Tuhan merupakan salah satu indikatornya. Rasulullah saw. menyuruh umat Islam beriman kepada takdir, tetapi beliau melarang mereka membicarakannya secara mendalam. Pada masa sahabat (Khulafa at-Rasyidin) kelihatannya sudah ada orang yang berpikir Jabariyah. Diceritakan bahwa Umar ibn al-Khatab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika diintrogasi, pencuri itu berkata, “Tuhan telah menentukan aku mencuri.” Umar menghukum pencuri itu dan mencambuknya berkali-kali. Ketika keputusan itu ditanyakan kepada Umar, ia menjawab: “Hukum potong tangan untuk kesalahannya mencuri, sedang cambuk (jilid) untuk kesalahannya menyandarkan perbuatan dosa kepada Tuhan.
Sebagian sahabat memandang iman kepada takdir dapat menia-dakan rasatakut dan waspada. Ketika Umar menolak masuk suatu kotayang di dalamnyaterdapat wabah penyakit, mereka berkata, “Apakah Anda mau lari dari takdir Tuhan?” Umar menjawab: “Aku lari dari takdir Tuhan ke takdir Tuhan yang lain.” Perkataan Umar ini menunjukkan bahwa takdir Tuhan melingkupi manusia dalam segala keadaan. Akan tetapi, manusia tidak boleh mengabaikan sebab-sebab terjadinya sesuatu, karena setiap sesuatu yang memiliki sebab berada di bawah kekuasaan manusia (maqdurah).
Pada masa pemerintahan Bani Umayah, pandangan tentang jabar semakin mencuat kepermukaan. Abdullah ibn Abbas dengan suratnya,memberi reaksi keras kepada penduduk Siria yang diduga berpaham Jabariyah. Hal yang sama dilakukan pula oleh Hasan Basri kepada penduduk Basrah. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pada waktu itu sudah mulai banyak orang yang berpaham Jabariyah.
Dari bukti-bukti di atas dapat dikatakan bahwa cikal-bakal paham Jabariyah sudah muncul sejak awal periode Islam. Namun, Jabariyah sebagai suatu pola pikir (mazhab) yang dianut, dipelajari, dan dikembangkan terjadi pada akhir pemerintahan Bani Umayah. Paham ini ditimbulkan buat pertama kalinya oleh Ja’ad ibn Dirham. Akan tetapi yang menyebarkannya adalah Jahm ibn Shafwan. Ja’ad sendiri menerima paham ini dari orang Yahudi di Siria. Pendapat lain menyatakan bahwa Ja’ad menerimanya dari Aban ibn Syam’an, dan yang terakhir ini menerimanya dari Thalut ibn Ashamal-Yahudi.Dengan demikian, paham Jabariyah berasal dari pemikiran asing, Yahudi maupun Persia.


F.      ASY’ARIYAH
Abu al-Hasan Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Bardah bin Abi Musa al-Asy’ari (260-324 H) dianggap sebagai pendiri alirah Asy’ariyah. Lahir di Bashrah, dan sampai usia 40 tahun dia masih merupakan seorang penganut kalam Mu’tazilah. Dia sering menggantikan gurunya dalam mengajar. Tetapi dalam usia kematangan berpikir seseorang, dia mengalami konversi. Dia meninggalkan paham Mu’tazilah yang dianutyna bepuluh-puluh tahun, dan berbalik menyerangnya dengan alat yang digunakan aliran itu sendiri, dan sekaligus menetapkan paham baru yang dianutnya. Paham ini kemudian diikuti banyak orang sehingga lahirlah Asy’ariyah sebagai salah satu aliran kalam dalam Islam.
Mengenai sebab-sebab konversi akidah yang dialami oleh Asy’ari ada berbagai versi riwayat. Jalal Musa, seorang analisis kontemporer mengenai masalah ini, menjelaskan sebab intrinsik berupa pergolakan spiritual Asy’ari sendiri. Di bidang kalam, di seorang Mu’tazilah dan berguru dengan al-Juba’i; sedangkan di bidang fikih, dia bermazhab Syafi’i dan berguru dengan Abu Ishaq al-Marwazi (w. 340 H), seorang tokoh mazhab Syafi’i di Irak. Dari kedua sisi kehidupan intelektualnya ini, Asy’ari melihat adanya dua kubu yang memilah-milah umat dengan kekuatannya masing-masing, yaitu kubu ulama kalam dengan kekuatan metode rasionalnya, dan kubu ulama fikih dan hadis dengan kekuatan metode tekstualnya. Kekuatan dua kubu tersebut diketahuinya dan ia pun memilikinya. Karena itu timbulah keinginannya untuk menyatukan kedua kekuatan itu dalam suatu aliran, sehigga para ulama kedua kubu itu dapat diintegrasikan pula. Realisasi idenya ini dimulai dengan peristiwa konversi tersebut.
Di samping membicarakan masalah penyebab intrisik peristiwa konversi, para ahli juga membahas banyak event sejarah yang melatari konversi yang dialami Asy’ari tersebut. Antara lain adalah riwayat dari al-Subki dan Ibn Asakir, yakni tentang hadirnya Nabi saw dalam mimpi Asy’ari dan memberitahu kepadanya bahwa mazhab ahli hadis yang benar, bukan Mu’tazilah yang selama ini ia anut. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Asy’ari dengan gurunya (al-Juba’i) berdebat mengenai persoalan kedudukan orang mukmin, kafir dan anak kecil di akhirat. Dalam perdebatan terebut, al-Juba’i tidak dapat memberikan jawaban tuntas yang memuaskan Asy’ari. Inti riwayat-riwayat tersebut adalah, bahwa Asy’ari sedang dalam keadaan ragu-ragu dan tidak merasa puas lagi dengan airan Mu’tazilah yang dianutnya tidak kurang dari 40 tahun.
Terlepas dari berbagai analisis yang dikemukakan di atas, yang jelas dan merupakan fakta sejarah adalah bahwa Asy’ari keluar dari Mu’tazilah dan kemudian membentuk aliran baru, ketika Mu’tazilah sedang berada dalam fase kemunduran (kelemahan). Yaitu setelah al-Mutawakil membatalkannya sebagai mazhab resmi negara, yang selanjutnya diikuti oleh sikap khalifah berpihak kepada Ahmad bin Hanbal (tokoh ahli hadis/salaf), rival Mu’tazilah terbesar waktu itu. Dalam hal ini, Asy’ari menegaskan dirinya sebagai pengikut Ahmad bin Hanbal, tokoh salaf yang disebutnya sebagai Ahl al-Sunnah.

G.    SYI’AH
Syi’ah secara etimologi bahasa berarti pengikut, sekte dan golongan seseorang. Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang berkedok dengan slogan kecintaan kepada Ali bin Abi Thalib beserta anak cucunya bahwasanya Ali bin Abi Thalib lebih utama dari seluruh shahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau. (Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal, 2/113, karya Ibnu Hazm). Sedang dalam istilah syara’, Syi’ah adalah suatu aliran yang timbul sejak masa pemerintahan Utsman bin Affan yang dipimpin oleh Abdullah bin Saba’ Al-Himyari.
Abdullah bi Saba’ mengenalkan ajarannya secara terang-terangan dan menggalang massa untuk memproklamasikan bahwa kepemimpinan (imamah) sesudah Nabi Muhammad saw seharusnya jatuh ke tangan Ali bin Abi Thalib karena suatu nash (teks) Nabi saw. Menurut Abdullah bin Saba’, Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman telah mengambil alih kedudukan tersebut. Dalam Majmu’ Fatawa, 4/435, Abdullah bi Shaba menampakkan sikap ekstrem di dalam memuliakan Ali, dengan suatu slogan bahwa Ali yang berhak menjadi imam (khalifah) dan ia adalah seorang yang ma’shum (terjaga dari segala dosa).
Keyakinan itu berkembang terus-menerus dari waktu ke waktu, sampai kepada menuhankan Ali bin Abi Thalib. Berhubung hal itu suatu kebohongan, maka diambil suatu tindakan oleh Ali bin Abi Thalib, yaitu mereka dibakar, lalu sebagian dari mereka melarikan diri ke Madain.
Pada periode abad pertama Hijriah, aliran Syi’ah belum menjelma menjadi aliran yang solid. Barulah pada abad kedua Hijriah, perkembangan Syiah sangat pesat bahkan mulai menjadi mainstream tersendiri. Pada waktu-waktu berikutnya, Syiah bahkan menjadi semacam keyakinan yang menjadi trend di kalangan generasi muda Islam: mengklaim menjadi tokoh pembaharu Islam, namun banyak dari pemikiran dan prinsip dasar keyakinan ini yang tidak sejalan dengan Islam itu sendiri.

BAB II
ANALISIS TERHADAP AKAL DAN WAHYU
Kata akal yang menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab Al `aqli yang terbentuk dalam kata benda. Berlainan dengan kata Al wahyi ,tidak terdapat dalam Al qur`an. Dalam pemahaman Prof. Izuttsu, kata ‘aql dijaman jahiliyah dipakai dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligence) yang dalam istilah psikologi modern disebut dengan kecakapan memecahkan masalah (Problem Solving Capacity). Orang berakal menurut pendapatnya adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah, setiap kali Ia dihadapkan pada suatu problema dan selanjutnya dapat melepaskan diri dari bahaya yang Ia hadapi.’Aqala juga mengandung arti, memahami dan berfikir. Tetapi timbul pertanyaan apakah pengertian, pemikiran dan pemahaman dilakukan melalui akal yang berpusat dikepala. Akal terbagi menjadi dua bagian :
1.  Akal praktis (‘Aamilah) yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indera pengingat yang ada pada jiwa binatang.seperti contoh : insting seekor kucing ketika dipukul oleh seseorang , maka pada suatu ketika saat dia beertemu dengan orang yang memukulnya, maka dia akan lari namun dia tidak tahu sampai kapanpun mengenai mengapa dia dipukul.
2.  Akal teoritis (‘Aalimah) yang menangkap arti-arti murni, arti-arti yang tak pernah ada dalam materi seperti Tuhan, roh dan Malaikat. Akal praktis memutuskan perhatian kepada alam materi, menangkap kekhususan. Akal teorotis sebaliknya bersifat metafisis, mencurahkan perhatian kepada dunia materi dan menangkap keumuman (kulliat universals).
Akal teoritis mempunysi empat derajat antara lain :
a. Akal Materil (Al-‘aqli al-hayulani), yang merupakan potensi belaka, yaitu akal yang kesanggupannya untuk menangkap arti-arti murni, arti-arti yang tak pernah ada dalam alam materi.akal ini belum keluar, jadi harus dicari dan diciptakan.
b. Akal bakat (al-aqli bil malakah), yaitu akal yang kesanggupannya berfikir secara murni abstrak telah mulai kelihatan. Ia telah dapat menangkap pengertian dan kaidah umum. Akal ini sudah tercipta tinggal manusianya yang mengembangkan.
c. Akal aktuil (al-aqlli bil al-fi’li) yaitu akal yang telah dan lebih mudah dan lebih banyak dapat menangkap pengertian dan kaidah dimaksud. Akal aktuil ini merupakan gudang bagi arti-arti abstrak itu, yang dapt dikeluarkan setiap kali dikehendaki.
d. Akal perolehan (Al-‘aqli al-mustafad), yaitu akal yang didalamnya arti-arti abstrak tersebut selamanya sedia untuk dikeluarkan dengan mudah sekali. Akal ini adalah milik para Nabi dan rasul Allah. Akal dalam derajat keempat inilah akal yang tertinggi dan terkuat dayanya.
Maka kaum teolog Islam mengartikan akal sebagai daya untuk memperoleh pengetahuan. Menurut Abu Huzail, akal adalah daya untuk memperoleh pengetahuan, dan juga daya yang membuat seseorang yang dapat memperbedakan antara dirinya dan benda-benda satu dari yang lain, akal mempunyai daya untuk mengabstrakkan benda-benda yang ditangkap panca indera. Disamping memperoleh pengetahuan, akal juga mempunyai daya untuk membedakan antara baik dan buruk. Akal dalam pengetian Islam, bukanlah otak, tetapi adalah daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Daya yang digambarkan dalam Al qur’an, memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya. Akal dalam pengertian inilah yang dikontraskan dalam Islam dengan wahyu yang membawa pengetahuan dari luar diri Manusia yaitu Tuhan. 
Wahyu berasal dari kata Arab Al wahyu, yaitu suara, api dan kecepatan. Disamping itu ia juga berarti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Al wahyu selanjutnya berarti pemberitahuan secara tersembunyi dan dengan cepat. Tetapi kata itu lebih dikenal dalam arti apa yang disampaikan Tuhan kepada Nabi-nabi. Dalam kata wahyu dengan demikian terkandung arti penyampaian sabda Tuhan kepada orang pilihannya agar diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan pegangan hidup.sabda Tuhan itu mengandung ajaran, petunjuk dan pedoman yang diperlukan umat manusia dalam perjalanan hidupnya baik didunia ini maupun diakhirat kelak. Ada tiga cara penyampaian wahyu, yang pertama, melalui jantung hati seseorang dalam bentuk ilham. Kedua, dari belakang tabir sebagaimana yang pernah dialami oleh Nabi Musa. Dan yang ketiga, melalui utusan yang dikirim dalam bentuk malaikat. Sebagaimana telah dijelaskan diatas dalam konsep wahyu terkandung pengertian adanya komunikasi antara Tuhan yang bersifat immateri dan manusia yang besrsifat materi. Menurut ajaran tasawuf, komunikasi dengan Tuhan dapat dilakukan melalui daya rasa manusia yang berpusat dihati sanubari. Dengan memusatkan perhatian pada hal-hal yang bersifat murni, sufi mempertajam daya rasa atau kalbunya dengan menjauhi hidup kematerian dan memusatkan perhatian dan usaha pada pensucian jiwa, dengan banyak beribadah, melakukan shalat dan berpuasa , membaca Al qur’an dan mengingat Tuhan, kalbu seorang sufi akan menjadi semakin bersih dan jernih sehingga Ia dapat menerima cahaya yang dipancarkan oleh Tuhan. Dalam Tasawuf dikenal tingkatan ma’rifah, dimana seorang sufi dapat melihat Tuhan dengan kalbunya, dan dapat pula berdialog dengan Tuhan. Dalam pada itu komunikasi seorang sufi dengan Tuhan tidak sampai mengambil bentuk wahyu, karna wahyu adalah khusus bagi Nabi-nabi dan Rasul-rasul. 
Ada beberapa aliran kalam yang tertarik untuk memperbincangkan mengenai akal dan wahyu. Aliran-aliran kalam yang dimaksud ini adalah Mu’tazilah,Asy‘ariyah dan al-Maturidiyah. Masing-masing dari aliran ini memberikan pandang pemikirannya mengenai akal dan wahyu.
Mu’tazilah merupakan salah satu aliran kalam yang sangat rasional. Makanya tidak heran ketika memberikan pandangan pemikirannya mengenai akal dan wahyu, maka Mu’tazilah lebih mengutamakan akal ketimbang wahyu. Sumber pengetahuan yang paling utama bagi Mu’tazilah adalah akal. Dalam memahami sesuatu, maka orang-orang Mu’tazilah menggunakan wahyu terlebih dahulu kemudian mencocokannya dengan wahyu untuk mendukung kebenaran. Mereka akan terus mengeksplor akal mereka kendatipun wahyu bertentangan dengan akal. Sebagaimana Drs. Sudarsono, SH. M. Si. menjelaskan.
Menurut kaum Mu’tazilah sumber pengetahuan yang paling utama adalah akal, sedangkan wahyu berfungsi mendukung kebenaran akal. Menurut mereka apabila terjadi pertentangan antara ketetapan akal dan ketentuan wahyu, maka yang diutamakan adalah ketetapan akal. Adapun ketentuan wahyu kemudian ditakwilkan sedemikian rupa supaya sesuai dengan ketetapan akal.[3]
Walaupun demikian, Mu’tazilah tidak meninggalkan wahyu. Sebagaimana Drs. Abuddin Nata, M. A. menjelaskan,”sungguhpun kaum Mu’tazilah banyak mempergunakan rasio, namun mereka tidak meninggalkan wahyu. Dalam pemikiran-pemikirannya, mereka selalu terikat kepada wahyu yang ada dalam Islam”.[4]
Menurut Asy‘ariyah, akal dan wahyu memiliki fungsi yang berbeda Fungsi akal sangat kontradiksi dengan fungsi wahyu. Fungsi akal adalah untuk mengetahui hal-hal yang konkrit/masalah fisika saja. Ia tidak berkuasa mengetahui hal-hal yang bersifat abstrak atau metafisik. Terutama dalam hal ketuhanan; akal tidak mampu untuk mengetahui tugas-tugas kewajiban manusia kepada Tuhannya. Ia tidak mampu mengetahui hukum-hukum yang baik serta yang buruk, juga tentang mana yang wajib dikerjakan dan mana yang mesti ditinggalkan. Sedang fungsi wahyu sangat luas dan tidak terbatas. Ia pemberi informasi kepada manusia tentang hal-hal yang bersifat metafisik, menyingkap rahasia yang bersifat abstrak dan gaib bagi manusia.[5]
“Al-Asy’ari kelihatannya ingin memakai wahyu dan akal secara seimbang dalam membahas soal-soal agama, namun wahyu namapak lebih diutamakan daripada akal. Akal hanya berfungsi sebagai alat untuk memperkuat terhadap apa yang ditegaskan oleh wahyu”.[6]
Al-Maturidiyah terbagi menjadi dua, yaituMaturidiyah Bukhara dan Maturidiyah Samarkand. Keduanya berbeda pendapat dalam memahami akal dan wahyu. “Jika Maturidi Samarkand mewajibkan mengetahui Tuhan dengan akal, sedangkan Maturidi Bukhara tidak demikian”.[7] “Wahyu bagi golongan pertama perlu hanya untuk mengetahui kewajiban tentang baik dan buruk, sedang menurut pendapat golongan kedua wahyu perlu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia”.[8]

BAB III
KESIMPULAN

Demikianlah akal dan wahyu yang kami bahas dalam pandangan aliran-aliran kalam, mereka semua mempunyai pendapat masing-masing dalam memberikan pendapat tentang akal dan wahyu, dan dari penutup inilah penulis menyarankan agar lebih teliti lagi dalam mambaca apa yang ada dalam presentasi kami, dan apabila banyak kesalahan dalam pembahasan sekiranya dapat dimaklumi dikarenakan kapasitas kemampuan kami yang sangat terbatas pada kajian kami ini. Dari pembahasan ini kami dapat menarik benang merah yaitu :
1.        Wahyu mempunyai kedudukan yang sangat pnting dalam aliran Asy’ariyah dan mmpunyai fungsi kecil pada aliran mu’tazilah.
2.         Mu’tazilah adalah paham yang beraliran rasional artinya lbih mnguatkan pendapat akal dibandingkan wahyu.
3.        Asy’ariyah menjadikan wahyu mempunyai kedudukan penting dalam alirannya disbanding akal.
4.        Maturidiyah Bukhara bahwa wahyu dan akal saling berdampingan dan saling menguatkan dengan kata lain kedudukan wahyu dan akal adalah seimbang.
5.        Maturidiyah Samarkand bahwa akal lebih tinggi disbanding kedudukan wahyu dengan kata lain sama dengan pendapat aliran Mu’tazilah tentang kedudukan wahyu dan akal.

DAFTAR PUSTAKA

Prof. KH. M. Taib Thahir Abdul Mu’in, Ilmu Kalam, Widjaya, Jakarta, 1997

DR. Abdul Rozak, M.ag. dan DR. Rosihon Anwar, M.ag., Ilmu Kalam untuk UIN, STAIN, PTAIS, Pustaka Setia, Bandung, 2006

Harun Nasution, Teologi Islam aliran-aliran sejarah analisa perbandingan, UI Press, Jakarta, 2010

Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, UI Press, Jakarta, 1986

 Yunan Yusuf, M, Alam Pemikiran Islam Pemikiran Kalam, Jakarta; Perkasa Jakarta 1990
Sudarsono, Filsafat Islam, Jakarta, PT Rineka Cipta, 2004

Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 1998




[1] Harun Nasution, Teologi Islam aliran-aliran sejarah analisa perbandingan, hal 13
[2] Ibid, cet I hal 11
[3] Sudarsono, Filsafat Islam, hlm. 5-6.
[4] Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, hlm. 22.
[5] Sudarsono, Filsafat Islam, hlm. 11.
[6] Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf…hlm. 75.
[7] Ibid., hlm. 77.
[8] Ibid., hlm. 77.

No comments:

Post a Comment